Senin, 12 Januari 2015


 
Tidak semua kesejahteraan guru di Surabaya terjamin, bahkan meningkat seiring keberadaan tunjangan profesi pendidik (TPP).
Buktinya masih banyak gaji guru, terutama guru tidak tetap (GTT), yang penghasilannya jauh di bawah upah minimum kabupaten/kota (UMK). Kondisi ini bisa menurunkan kualitas kinerja. Latar belakang pendidikan mereka sarjana strata 1 (S-1), tapi nominal gaji mereka kalah dengan buruh pabrik yang tamatan SMA dan SMP.
Kenyataan ini tidak sesuai dengan Perda Surabaya Nomor 16/2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Payung hukum yang disepakati eksekutif dan legislatif ini mengamanatkan gaji GTT minimal sesuai dengan UMK. Faktanya, gaji mereka yang ikut andil mencerdaskan generasi bangsa dibayar murah.
Fatih Rahmad, guru Pendidikan Agama Islam (PAI); Dimas Anggara, guru olahraga; dan Moch Saifudin, guru PAI dan Pramuka, yang sekarang ditempatkan di tata usaha adalah tiga dari sekian banyak GTT di Kota Pahlawan gajinya belum sesuai dengan UMK. Ketiganya selama ini bekerja di SDN Kalirungkut I/264 Surabaya.
“Saya menjadi GTT sejak tahun 2011, Dimas Anggara sejak 2011, dan Moch Saifudin sejak 2009,” tutur Fatih Rahmad, kemarin. Fatih yang tinggal di Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Rungkut, ini setiap bulan menerima gaji Rp1 juta. Sementara UMK Surabaya tahun 2015 Rp2.710.000. “Hingga 2013, gaji yang saya terima Rp500.000. Mulai sekitar Maret 2014, gaji bulanan naik menjadi Rp1 juta. Meski naik 100%, namun tetap jauh di bawah nilai UMK,” kata Fatih.
Alumni Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (sekarang Universitas Islam Negeri Surabaya) ini mengaku bingung atas rendahnya UMK yang diterima melalui sekolah.
“Padahal saat kepala sekolah masih dijabat orang lama, Pak Ishak, membuat usulan kenaikan gaji saya, Saifudin dan Dimas pada Januari 2014. Bahkan usulan itu sudah direspons Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya. Dinas mengeluarkan SK bahwa gaji saya dan dua teman lainnya di SDN Kalirungkut I adalah Rp2,2 juta. SK yang ditandatangani Bu Eko (Eko Prasetyoningsih, Kabid Dikdas) sempat saya lihat,” ujarnya.
Perbedaan nominal gaji yang menjadi haknya sebagaimana dituangkan pada SK dengan kenyataan yang diterima, Fatih mengaku bingung. “Ini kesalahannya ada pada siapa,” ujarnya bingung. Dia mengaku dalam seminggu sudah mengajar lebih dari 24 jam, bahkan lebih.
Kewajiban sebagai guru dilaksanakan, termasuk tetap mengantor selama enam hari kendati target jam mengajar 24 jam per minggu sudah dipenuhi dalam waktu tiga hari. Ketua Komunitas Muda Bibit Unggul Surabaya Achmad Hidayat prihatin atas rendahnya gaji GTT.
“Mereka itu sarjana, kok gajinya jauh di bawah buruh. Buruh saja yang tidak sarjana bisa terima sesuai dengan UMK,” kata Achmad yang melakukan pendampingan terhadap Fatih dan kawan-kawannya.
Achmad meyakini hal serupa banyak dialami GTT di sekolah lain. Karena itu, pihaknya menerima keluhan jika ada GTT lain bernasib sama. Pihaknya tidak segan melaporkan oknum yang “menyunat” hak gaji GTT jika diketahui ada pelanggaran hak. “Jangankan GTT, tukang kebun sekolah saja harus sesuai dengan UMK,” kata pemuda bertubuh subur ini.
Kepala SDN Kalirungkut I/- 264 Siti Fatonah mengaku tidak tahu soal kebijakan yang mendasari besaran gaji tiga GTT itu. “Itu kebijakan kepala sekolah. Saya masuk ke SDN Kalirungkut I ini sejak SDN Kalirungkut I, II, dan III, dimerger menjadi Kalirungkut I pada Maret 2014.
SK sebagai Kepala SDN Kalirungkut I per Februari 2014,” kata Siti yang sebelumnya di SDN Ketintang, Kecamatan Wonokromo. Perempuan berjilbab ini bahkan mengaku sejak dirinya masuk sebagai Kepala SDN Kalirungkut I, dia menerapkan kebijakan baru, yakni menambah nominal GTT di sekolahnya. Namun, Siti tidak merinci nominal itu. “Sebelumnya, saya ikuti aturan saat kepala sekolah lama, dan setelah saya masuk justru ditambah,” kata Siti.
Siti menyebutkan, Fatih dalam sehari sudah mengajar selama delapan jam. Selain itu. dalam seminggu bisa mengajar 24 jam dan bahkan lebih. Hanya Siti tidak setuju jika kewajiban mengajar itu dimampatkan menjadi tiga hari atau kurang dari enam hari.
Siti ingin Fatih dan kawan-kawan tetap ke sekolah setiap hari, yakni per hari selama delapan jam. Jika kewajiban mengajar sudah tercapai, Siti ingin GTT itu bisa melakukan pengayaan diri, berbagai dengan guru senior, dan bahkan membuat materi ujian di sekolah. Siti juga sempat mengusulkan supaya Fatih dan lainnya pindah ke sekolah lain yang kekurangan guru. “Sudah saya usulkan ke SDN Banyu Urip, tapi yang bersangkutan tidak mau,” kata Siti.
Disinggung kembali soal nominal gaji, lagi-lagi Siti tidak menyebut pasti. “Akan saya cek dulu. Mohon kalau ada informasi dikoordinasikan dan dikondisikan ke dalam dulu,” katanya. Ditemui di ruang kerjanya, Siti juga menyebutkan sekolahnya kelebihan guru. Ini juga menjadi dasar saran agar Fatih dan kawan-kawan pindah.
“Semoga ke depan gaji bisa sesuai dengan UMK karena sudah kami usulkan melalui perangkaan anggaran ke dinas,” kata Siti. Terkait jawaban Siti, Fatih membantah keras bahwa SDN Kalirungkut I kelebihan guru. Faktanya, GTT dalam seminggu bisa mengajar lebih dari delapan jam.

0 komentar:

Posting Komentar