Tanggal 2 Oktober 2014 memang sudah berlalu.
Akan tetapi apa yang terjadi pada tanggal itu, jelas akan terkenang
selalu. Inilah tanggal dimana puluhan ribu anggota KSPI melakukan aksi
unjuk rasa secara serentak di berbagai kota. Menuntut pemerintah agar
mengeluarkan kebijakan yang berorientasi pada terciptanya kesejahteraan
bagi seluruh rakyat Indonesia. Tentu saja, kaum buruh berada didalamnya.
Tidak hanya di DKI Jakarta. Aksi serupa juga
dilakukan di Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawah Timur,
hingga Gorontalo. Tuntutan mereka sama. Menolak rencana kenaikan harga
BBM, naikan upah minimum 30% dan rubah KHL menjadi 84 item, benefit
jaminan pensiun untuk buruh sebesar 75% dari upah terakhir, jaminan
kesehatan gratis untuk seluruh rakyat, dan hapuskan outsourcing termasuk
di BUMN.
Lima tuntutan tersebut merupakan bagian tak
terpisahkan dari sepuluh tuntutan buruh dan rakyat (Sepultura). Bukti
keteguhan KSPI terhadap komitment perjuangan yang telah diikrarkan.
Saya sedang berada di Jawa Timur ketika massa
KSPI turun ke jalan, tanggal 2 Oktober 2014 yang lalu. Tergetar hati
saya ketika melihat langsung betapa mereka bersemangat dalam
memperjuangkan tuntutannya. Selama ini saya melihat secara langsung kaum
buruh melakukan aksi besar-besaran hanya di DKI Jakarta dan sekitarnya.
Ternyata, nun jauh dari ibu kota negara, aksi buruh juga dilakukan
dengan sangat militan. Tak kalah, bahkan.
Ribuan buruh yang berasal dari Mojokerto,
Pasuruan, Sidoarjo, Surabaya dan Gresik ini berkumpul di depan Gedung
Negara Grahadi, Surabaya. Empat mobil komando (mokom) dari empat wilayah
dikerahkan. Hari ini saya merasa sesuatu sekali.
Mengikuti aksi ini, saya serasa mengalami
dejavu. Pada bulan April 2012, saya juga pernah ikut aksi di gedung
negara Grahadi. Saat itu, Agus Supriyanto, korban outsourcing PT. Japfa
Comfeed masih ditahan pihak kepolisian. Salah satu tuntutan kami adalah
pembebasan pria yang saat ini menjabat sebagai Ketua PC SPAI FSPMI
Sidoarjo tersebut.
Tentu saja, dibandingkan dengan 2 tahun yang
lalu, aksi kali ini jauh lebih besar. Terlebih lagi, aksi nasional KSPI
pada tanggal 2 Oktober 2014 ini juga diumaksudkan sebagai pemanasan
mogok nasional.
Berbicara tentang mogok nasional, rasanya
buruh Jawa Timur sudah sangat siap. Di belakang salah satu mobil komando
yang mereka pakai dalam aksi, bahkan ditulis merah dengan ukuran yang
cukup besar: MOGOK NASIONAL JILID 3.
“Emang sudah siap mogok nasional,” kata saya kepada salah satu peserta mogok nasional. Sambil memperhatikan tulisan di mokom.
“Kalau ada instruksi untuk mogok nasional, kita mah selalu siap!” Ujarnya.
Saya tersenyum.
Kemudian ia buru-buru menambahkan. ”
Seharusnya pemerintah mengabulkan tuntutan buruh, tanpa harus menunggu
buruh melakukan mogok nasional.” Lebih jauh ia menyampaikan, upah buruh
di Indonesia masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah di
beberapa negara tetangga seperti Singapura, Thailand, dan Filipina.
“Sudah gitu, kita tidak dapat jaminan pensiun. Padahal PNS dapat. Ini
namanya diskriminasi,” lanjutnya.
Saya kaget ia bisa memberikan argumentasi
sedemikian rupa. Tak perlu diragukan lagi, ia berada disini bukan
sekedar ikut-ikutan. Tetapi karena kesadaran.
“Dari mana tahu upah buruh Filipina lebih tinggi dari upah buruh Indonesia?”
“Lah, kan sering di posting di website FSPMI dan disebar oleh kawan-kawan lewat facebook,” jawabnya.
Saya terdiam. Benar-benar terdiam. Perlahan
mulai menyadari, bahwa kemajuan teknologi membuat jarak sedemikian
dekat. Mulai mengerti bahwa kerja-kerja tim media memiliki arti
penting dalam hal menyebarkan dan mendistribusikan
informasi. Ternyata, inilah yang membuat gerakan buruh semakin dekat.
Di media, saya melihat aksi serupa di berbagai daerah. Serentak. Dengan satu kesatuan komando.
Tidak berlebihan jika kemudian KSPI sangat
yakin akan berhasil memperjuangkan hak-hak kaum buruh. Percaya, bahwa
persatuan adalah modal awal untuk mewujudkan cita dan asa.
Catatan Perburuhan: Kahar S. Cahyono