Sabtu, 29 Maret 2014

Said Iqbal: Mari Bicara tentang Produktivitas


Said Iqbal
Daripada hanya melulu berbicara tentang upah, saya kira juga akan menarik jika kita berbicara tentang produktivitas. Produktivitas, diakui atau tidak, juga menjadi solusi atas problematika kesejahteraan yang terjadi.
Saya memiliki pandangan sendiri terkait dengan produktivitas.
Pernahkah kawan-kawan KADIN dan APINDO mengajak kita berdiskusi tentang produktivitas? Tidak pernah!
Kalau kita meminta upah terus naik, karena memang upah menjadi kepentingan kita. Dan kita siap untuk berdiskusi atas tuntutan kita. Kalau kemudian mereka mempersoalkan tentang produktivitas, mari kita duduk dan berdiskusi.
Dalam pandangan saya, seharusnya Pengusaha mengundang serikat buruh untuk berdiskusi. Ajak serikat buruh untuk berbicara, “Kalau Anda mau naik gaji sekian, kita minta produktivitas sekian.”
Saya rasa itu hal yang biasa dalam sebuah hubungan industrial. Tetapi yang terjadi salama ini kan tidak seperti itu. Mereka lebih senang membayar pemimpin serikat buruhnya, misalnya dengan 10 juta, lalu seolah-olah sudah selesai urusan.
Disini kan terbiasa bergitu. Ada upeti untuk polisi, tentaranya dibayar, pemerintahnya dibayar, semua dibayar. Dia pikir dengan itu sudah selesai dan mau menyelesaikan sendiri.
Kalau kita tidak mau seperti itu. Ini negeri punya kita semua.
Pengusaha dan buruh sama mulianya. Kita juga punya gagasan. Tetapi kalau Anda punya sikap pecundang dan memilih jalan pintas dengan mengerdilkan serikat buruh dengan memberikan sogokan, kita nggak mau!
Saya tidak mau menunduk. Saya maunya sama: jika pengusaha mau maju, buruh juga mau maju. Pengusaha punya gagasan, buruh juga punya gagasan.
Jangan marah kalau gagasan kita berbeda. Kalau kita belum duduk dan berdiskusi untuk menjelaskan posisi masing-masing, jangan marah. Duduk. Diskusi. Kalau mereka tidak mau, jangan salahkan jika kemudian buruh lebih memilih meneriakkan tuntutan di jalan-jalan.
Tapi kalau mau berdiskusi secara terbuka, ada semangat saling untuk bekerja sama, prinsip kesamaan, kemudian akuntabilty dan transparansi, kita duduk. Kalau itu tidak mau, ya ambil jalan masing-masing.
Inilah yang kita sebut, Konsep – Lobi – Aksi. Dan kemudian ditambah satu lagi, politik. Kita mau masuk juga dalam politik dalam ukuran tertentu. Suatu ketika kita harus juga menentukan arah kebijakan.
Ini adalah strategi kedua, selain meningkatkan konsumi domestik adalah meletakkan serikat buruh sebagai bagian penting untuk meningkatan ksejehteraan. Serikat buruh itu harus ditempatkan sama, bukan dibeli,.
Saya rasa sudah menjadi rahasia umum, dalam 20 tahun terakhir ini serikat buruh selalu dibeli. Dengan membeli itu dipikir mereka bisa menyelesaikan masalah.
Kenapa saya berulang-ulang saya katakan kita terlihat garang dan mereka marah dengan siakp kita? Karena mereka terbiasa membeli. Mereka merasa bisa menyelesaikan problem bangsa ini sendiri. Dan kita tidak mau itu.

Said Iqbal: Jika Negara Ini Mau Maju, Konsumsi Domestik Harus Ditingkatkan


Said Iqbal
Sudah banyak kritik yang kita sampaikan terkait dengan investasi versus kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Saya rasa semua kritik itu disampaikan dengan data dan fakta. Dan bukan hanya kritik semata yang kita lontarkan. Tetapi kita juga menyampaikan solusi untuk menyelesaikan permasalahan. Buruh punya gagasan. Ia tidak hanya bisa teriak di jalanan.
Yang ingin saya tawarkan adalah, jangan menjadikan tolak ukur pertumbuhan ekonomi semata-mata hanya dari sisi investasi. Perhatikan juga sisi konsumsi. Bagaimana mungkin kita menggenjot tumbuhnya investasi sementara rakyat tak memiliki daya beli. Tentu saja, yang saya maksud konsumsi disini adalah konsumsi yang real.
Menurut saya, konsumsi yang real adalah konsumsi domestik.
Coba anda lihat Negara-negara seperti Cina, Brasil, Jepang, atau Singapura. Negara-negara itu adalah contoh negara yang ketika tingkat ekonominya tumbuh, maka daya beli masyarakatnya juga tumbuh.
Barang-barang yang mereka produksi laku dalam pasar dalam negerinya. Masyarakatnya punya daya beli dan memang mau membeli produk domestiknya Ada nasionalisme disitu. Cinta produk dalam negeri dan bukan bangga menjadi konsumen produk impor.
Lihatlah Jepang, setelah Restorasi Meiji. Restorasi meiji merupakan suatu gerakan pembaruan yang dipelopori oleh Kaisar Mutsuhito, atau Kaisar Meiji. Restorasi Meiji dikenal juga dengan sebutan Meiji Ishin, Revolusi, atau pembaruan. Restorasi Meiji merupakan suatu rangkaian kejadian yang menyebabkan perubahan pada struktur politik dan sosial Jepang.
Restorasi ini terjadi pada tahun 1866 sampai 1869, tiga tahun yang mencakup akhir zaman Edo dan Awal zaman Meiji. Restorasi Meiji bisa dikatakan sebagai jaman “pencerahan” Jepang setelah selama 200 tahun lebih menutup diri dari hubungan luar di bawah kepemimpinan rezim Tokugawa. Restorasi Meiji menjadi penanda bahwa Jepang mulai melangkah sebagai negara yang maju. Sejalan dengan arti dari kata meiji sendiri: ”yang berpikiran cerah”.
Banyak kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam dibidang industri, pemerintahan, pendidikan maupun militer akibat dari Restorasi Meiji. Kemajuan-kemajuan tersebut dicapai hanya dalam kurun waku kurang dari 50 tahun. Saat itu, di Jepang, produk dari dalam negerinya sendiri, dibeli oleh bangsanya sendiri. Ingat tidak dengan mobilk kijang Kotak Sabun, dibeli oleh orang jepang sendiri. Mau sejelek-jeleknya mobil Jepang, pokoknya dia bangga beli produk sendiri. Didorong oleh hasrat mengejar ketertinggalan, banyak pengusaha industri Jepang memperbesar industrinya tanpa perhitungan yang matang. Akibatnya berbagai jenis industri melimpah-ruah memenuhi pasaran dalam negeri Jepang sendiri. Harga barang pun turun dengan cepat. Rakyat Jepang sebagai konsumen menjadi makmur.
Mari kita lihat Cina, ketika Deng Xiaoping mengatakan “Saya tidak peduli, apa itu kucing putih atau kucing hitam, sejauh kucing itu bisa menangkap tikus, itu kucing yang baik.” Setelah itu rakyat Cina bekerja bahu membahu. Akhirnya Negeri Cina makin maju seperti sekarang. Nasionalisme Cina menjadikan ekonomi tumbuh, bahkan diatas dua digit. Semua produk Cina dibeli oleh orang Cina. Motor, misalnya, mau hancur kek, dia beli juga.
Brasil adalah contoh yang terbaru, dengan Lula da Silva (2002-2011). Ketika Lula da Silva, yang  berlatar buruh pabrik dan menjadi pemimpin Partai Buruh Brasil itu akhirnya terpilih sebagai Presiden Brasil pada 2002 (setelah tiga kali gagal dalam pemilu), untuk mengatasi krisis ekonomi ia menerapkan kebijakan menaikkan upah buruh, mendorong investasi pemerintah, dan perhatian baru pada kebijakan industri. Pernyataan pertama di hadapan publik yang disampaikan Lula: akan menaikkan upah minimum buruh secara riil sebesar 50 persen dalam lima tahun.
Bukan sekedar nominalnya yang dinaikkan. Tetapi upah riil-nya yang naik. Anda bisa bayangkan, setelah 10 tahun Lula berkuasa, upah di Brasil naik 300 persen.
Caranya, pemerintah memilih industri manufaktur yang paling penting di Brasil, dalam arti mempekerjakan paling banyak buruh dan mampu mendorong pertumbuhan di sektor lainnya. Pajak produk industri kemudian diturunkan sehingga harga produk murah, agar pengusaha dapat menaikkan upah buruhnya dengan pada saat sama juga mencegah terjadi pemutusan hubungan kerja.
Untuk mendorong konsumsi, saban hari Presiden Lula berpidato di televisi mendorong rakyatnya membelanjakan upahnya dengan membeli produk dalam negeri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestiknya. Program perlindungan sosial juga dikembangkan. Jaminan pensiun diperluas, hingga 85,7 persen warga usia 65 ke atas menikmatinya, dengan total 34 juta penduduk yang menikmati,termasuk 8,2 juta penduduk pedesaan.
Dampak langsung dari upaya tersebut adalah pengurangan Koefisien Gini secara konsisten dari 2003 sampai 2010 saat da Silva menjabat. Dengan berkurangnya Koefisien Gini, berarti ketimpangan antara si miskin dengan si kaya menjadi berkurang. Produksi berbagai produk Brasil meningkat signifikan, buruh lebih sejahtera, dan PHK dapat dihindari.
Kemudian lihatlah kebijakan Singapura. Mereka menaikkan upah untuk meningkatkan produktivitas. Kalau anda pergi ke buruh-buruhnya Singapura, mereka punya daya beli. Daya beli itu adalah upah.
Tetapi upah yang naik, secara bersamaan harus diimbangi dengan pengendalian harga-harga, membuka belenggu hambatan-hambatan inveasti.
Yang terjadi sekarang, sudahlah habatam investasi dibiarkan, ditambah dengan kebijakan upah murah. Jelas kita tidak akan bisa terima!
Baru menaikkan 42%  tahun 2013 lalu, sekarang sudah diturunin lagi. Saya kira, seharusnya bukan begitu cara berfikirnya. Itu cara berfikir yang ngawur.
Dan itu adalah tugas pemerintah untuk melakukannya. Jangan mengatakan kami ini hanya bisa nuntut upah naik dan tidak pernah bicara turunkan harga.
Sekali lagi, kita setuju dengan inveasti. Tetapi jangan dijadikan investasi yang tumbuh sebagai cara untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Konsumsi domestik juga harus dinaikkkan. Dan cara untuk mengukur konsumsi domestik adalah purchasing power. Daya beli.

Kamis, 27 Maret 2014

Said Iqbal: Buruh Menggugat!


Diskusi Kerakyata yang diselenggarakan Kondolidasi Nasional Gerakan Buruh (21 Maret 2014)
Diskusi Kerakyatan yang diselenggarakan Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh (21 Maret 2014)
Coba Anda lihat. Investasi masuk ke Indonesia dengan beragam kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah. Dalam bahasa saya, ada “karpet merah” yang digelar untuk mereka yang datang. Karpet merah yang saya maksud adalah, buruh outsourcing (Flexible Labour Market), menggunakan jam kerja panjang (Flexible Working Hour), meminta kebijakan upah murah (Low Wages Policy), dan menekankan kontrak kerja individu tanpa hak berserikat (Individual Contract).
Itulah sebabnya, buruh menggugat kebijakan Pemerintah yang menjadikan buruh sebagai komoditas dalam industri. Yang menjual buruh dengan upah murah, jam kerja yang panjang dan ditambah lagi dengan kontrak individu yang melemahkan posisi tawar buruh itu sendiri.

Gutatan Pertama: Pasar Kerja yang Fleksibel
Tentang outsourcing, misalnya.
Sering saya ditanya oleh Pengusaha, baik didalam maupun diluar negeri.
Mengapa Anda menolak labour market flexibility? Di negara-negara lain juga menerapkan pasar kerja yang fleksibel. Lalu apa masalahnya dengan Indonesia?
Saya jawab, masalahnya adalah, mereka hanya berhenti pada pasar kerja yang fleksibel. Mereka tak pernah mengatakan, di Negara lain seperti Amerika, Eropa dan Jepang, meskipun ada fleksibel labour market diterapkan, akan tetapi ada dua syarat yang sudah dipenuhi oleh mereka.
Syarat pertama, upahnya layak. Saya rasa, kalau upah kita layak dan dijamin oleh Negara sepanjang Republik ini masih ada, maka status hubugan kerja sudah tidak menjadi penting lagi. Tentu yang saya maksud upah layak bukan layaknya Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam KHL.  Batasan layak yang saya maksud adalah, orang benar-benar bisa menabung dari upah yang mereka terima itu.
Yang kedua, ada jaminan sosial. Di beberapa Negara mengenal jaminan pengangguran. Dan ini harus ada, ketika fleksibel labour market mau diterapkan. Kalau orang nganggur saja dibayar, maka status hubungan kerja sudah menjadi tidak relevan lagi.
Sayangnya, di Indonesia dan Negara-negara berkembang, fleksibel labour market itu tidak memenuhi dua syarat ini. Malahan labour market flexibility digunakan untuk menghindari upah layak dan jaminan sosial. Dengan kata lain, outsourcing, pada saat yang bersamaan juga berarti upah murah dan bekerja tanpa mendapatkan jaminan sosial yang memadai.
Saya ingin mengatatakan, Flexible Labour Market adalah karpet merah pertama.Digelar untuk menyambut investasi yang datang ke negeri ini.

Gugatan Kedua: Jam Kerja yang Panjang
Selanjutnya, mereka meminta jam kerja yang panjang. Saya mencontohkan Batam. Disana lembur adalah idaman kaum buruh.
Kalau buruh-buruh di German sekarang ini sedang berjuang untuk mengurangi jam kerja 35 jam per Minggu menjadi 30 jam per minggu, maka berlaku sebaliknya disini. Ya, di German serikat buruhnya berjuang agar jam kerja menjadi 30 jam per Minggu, sudah begitu minta agar upahnya dinaikkan menjadi 2 kali kipat.
Sudah jam kerja diturunin, mereka tidak mau lembur.
Saya kira itu sangat tepat. Kalau di Indonesia, bekerja hingga 12 jam dengan lembur, tapi tetap miskin. Lalu seolah-olah kalau Pengusaha sudah memberikan lembur, ia berbaik hati kepada buruh-buruhnya.
“Ini saya kasih tambahan?” Begini kira-kira Pengusaha itu berkata kepada buruh-buruhnya saat memberikan lembur. Buruh lupa, nilai lembur yang diberikan itu tidak sebanding dengan kerja yang dikeluarkan kaum buruh itu sendiri.
Itu yang kita gugat.
Bukan investasinya yang kita gugat. Bukan pengusahanya yang kita gugat. Kita tidak anti investasi, tetapi kalau kemudian investasi masuk dan kita tetap menjadi miskin, maka buruh akan teriak! Karena itu, sistemnya yang kita gugat: upah murah, jam kerja yang panjang.
Anda tahu, ratusan orang mati di Chicago yang kemudian dikenal dengan May Day. Saat out buruh menuntut: 8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam bersosialisasi. Nyawa dikorbankan untuk memperjuangkan jam kerja, tahun 1800-an. Dan sadarkan Anda, hari ini perilaku itu diulang kembali. Buruh dipaksa dengan jam kerja yang panjang. Ironisnya, buruhnya bersenang hati.
Coba tanya buruh-buruh itu, kalau ada lemburan senang sekali.
Dia lupa. Dia sedang menanam penyakitnya sendiri. Nanti kalau sudah tua, sakit-sakitan, dan begitu sakit – karena upahnya rendah dan pergi ke dokter tidak mampu – yang tadinya bisa nyicil motor waktu kerja, pas sudah selesai kerja motor yang dicicilnya itu dijual kembali.
Inilah yang dibilang lingkaran kemiskikan.
Lalu apa bedanya dengan binatang? Begitu pagi pertebaran mencari makan, lantas ketika malam menjelang kembali pulang ke kandang. Hidup hanya untuk sekedar cukup makan. Kita mau seperti binatang itu?
Bagi saya, ini tentang rasa keadilan.
Bukan karena buruh-buruh itu mendapatkan  pekerjaan lantas mereka harus menunduk dan mengucap terima kasih. Bukan itu. Sering saya mengatakan, kalau ada orang miskin karena tidak bekerja, kita bisa terima. Karena dia tidak punya pekerjaan. Tidak mempunyai penghasilan, maka Negara harus membantu dalam bentuk raskin, jaminan kesehatan ketika sakit, dan sebagainya. Tetapi yang terjadi sekarang, buruh bekerja selama 30 hingga 40 tahun, akan tetapi masih tetap miskin. Saya kira ini bukan retorika. Ini adalah fakta.
Saya sendiri masih bekerja. Sehingga saya tahu betul seperti apa kemiskinan yang dialami oleh kaum buruh.
Kalaupun buruh bisa membeli motor, pasti itu dibeli dengan sistem kredit.
Ada yang mempertanyakan, “buruh sudah punya motor ninja bung Iqbal?” Tahukah  Anda, dia bisa memiliki motor ninja berapa jam dia kerja dalam sehari? Sehari dia bekerja hingga 12 jam. Sementara itu, dirumah istrinya jualan voucher.
Anda bisa bandingkan, orang-orang kaya itu kerja hanya 2 jam tetapi kaya raya, ini buruh kerja 12 jam ditambah istrinya di rumah jualan, baru bisa beli motor ninja. Itu pun kredit. Kalau saya, sebagai pemimpin buruh berpendapat, jangankan beli motor ninja. Buruh harus bisa membeli mobil dan memiliki rumah yang layak.
Apa yang salah kalau buruh kemudian bisa hidup layak. Apakah buruh selamanya harus hidup pas-pasan, tinggal dikontrakan sempit yang berhimpit itu.
Baru beli motor ninja sata dipertanyakan? Sementara kamu tidak pernah menanyakan, pengusaha itu kaya dari mana? Uang siapa yang dipakai dari bank-bank yang dia pinjam. Dimana logikanya!
Seolah-olah buruh yang mempunyai kehidupan lebih baik karena pendapatannya sedikit besar, itu pun harus berkorban dengan jam kerja yang panjang, tidak boleh.
Saya rasa, saya masih belum pada titik anti kapitalisme. Saya masih setuju dengan adanya investasi itu. Yang kita tidak setuju, datangnya investasi membuat kita menjadi tetap miskin.
Apa ukuran tidak miskin? Sederhan. Buruh bisa menabung dari upah yang mereka terima. Nah, sekarang, jangankan menabung. Kami ini upah minimum dengan ukuran 10 Kg beras, 5 potong ikan segar, dan 0,75 Kg daging dalam satu bulan. Ukuran itu tidak masuk akal. Tetapi dipaksa untuk diterima.
Dan lagi-lagi saya harus mengatakan, kita akan melawan. Menolak dan menggugat kebijakan itu.
Kemudian orang menilai, sikap kita ini membuat kita terlihat garang. Keligatan seolah-olah tidak mau kompromi.
Habis tidak ada pilihan. Sebelum kita turun ke jalan, kan kita sudah membuka ruang untuk berdiskusi. Sederhana saja saya memandang. Kalau benar diskusi adalah untuk solusi, mengapa kebijakan yang berorientasi kepada kesejahteraan buruh tidak dijalankan sejak 20 tahun yang lalu.
Tidak harus menunggu buruh turun ke jalan, bukan?
Kalau pemerintah ini benar-benar cinta kepada rakyat, sejak 20 tahun yang lalu seharusnya kebijakan pro buruh sudah dijalankan. Apalagi kita tahu, investasi saat jaman Soeharto sangat luar biasa besarnya. Bahkan diperkirakan, kalau Soeharto tidak jatih dan ekonomi Indonesia terus tumbuh, kita bisa menyamai Korea Selatan.
Kemudian mengatakan, buruh tidak ramah terhadap inveastasi.
Saya rasa, ini adalah kalimat mereka yang paling hebat: tidak ramah investasi.
Padahal mereka keliru. Investasi yang tidak ramah terhadap buruh!
Sekali lagi saya ingin tegaskan, kita tidak anti investasi. Kita setuju perusahaan untung. Tetapi kita inginkan investasi yang tidak menyebabkan kedaulatan bangsa ini tergadai. Kita inginkan investasi yang diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan.

Gugatan Ketiga: Individual Kontrak
Situasi diatas, semakin diperparah lagi dengan adanya individual kontrak. Sistem industri diciptakan antara buruh 1 orang (sebagai individu) dengan pemilik modal. Ya jelas, dalam relasi ini buruh kalah telah. Dia tidak punya kekuatan tawar.
Coba tanya adik-adik kita yang baru lulus SMA itu. “Apakah kamu mau kerja?”
Dia akan bilang, “Mau.”
“Tapi gajinya hanya 1 juta, ya?”
“Nggak apa-apa dech. Yang penting saya bisa kerja,” sebagian besar mereka akan menjawab ini. Padahal upah minimum di Jakarta besarnya 2,4 juta. Tetapi dia mau hanya dibayar 1 juta.
Ada yang mengatakan, mereka tidak keberatan kok dibayar hanya setengah UMP. Saya katakan, jangan setengah dari UMP, dikasih 500 pun buruh-buruh itu mau. Buruh itu tinggal dikasih berapa, dia akan mau. Yang penting bagi mereka bisa bertahan hidup.
Kalau begitu pertanyannya, lalu apa gunanaya inveasti buat kami? Apakah kapitalisasi itu harus selalu diartikan dengan mengeksploitasi kaum buruh?
Individual kontrak ini mereduksi peran serikat buruh. Sebagai individu, buruh tak kuasa menolak. Itulah sebabnya, KNGB ini kita harapkan lahir untuk antitesis itu. Menjadikan individual itu menjadi kolektivitas.

Gugatan Keempat: Upah Murah
Yang keempat, soal upah murah.
Upah buruh Indonesia lebih rendah dari Thailand, Filipina, juga Singapura.
Apa sih hebatnya mereka? Soal produktivitas? Saya sangat percaya, Toyota Filipina dengan Indonesia jauh lebih baik Toyota kita. Saya mau head to head. Tetapi kalau dari seluruhnya, jelas kita kalah. Karena rakyat kita jumlahnya jauh lebih banyak. Ditambah lagi, kenapa produktivitas kita rendah (secara total),  karena banyak penduduk Indonesia yang tidak bekerja. Apalagi dari yang bekerja, 54% nya lulusan SD.
Kalau mau membandingkannya head to head. Jadi adil.
Lalu timbul pertanyaan, kalau begitu tidak bisa sama rata sama rasa. Setuju. Kalau mau membandingkan: labour intensive dengan labour intensive, capital intensive dengan capital intensive.
Saya pernah membaca sebuah rillis yang mengatakan, 6,3 % pertumnuhan ekonomi tahun 2012, 67 persennya disumbangkan dari produktivas buruh. Itu artinya membantah pernyataan bahwa produktivitas buruh Indonesia rendah.
Ini pandangan saya. Tapi saya nggak tahu seperti apa pandangan ahli.
Upah kita saja masih rendah. Apa yang mau dikejar denan upah yang rendah ini? Belum lagi jaminan kesehatannya tidak memadai. Hanya 0,05 persen buruh yang punya jaminan pensiun. Dengan kata lain, 99,95 persen buruh tidak punya jaminan pensiun.
Semua ini fakta. Gugatan kita selanjutnya, kita kerja buat apa?
Capek-capek kita kerja, dari matahari belum terbit hingga matahari telah terbenam, upah tetap rendah dan setelah tidak lagi bekerja tak memiliki jaminan pensiun.

Serikat Pekerja Berniat Dirikan Partai Politik


Said Iqbal : Presiden KSPI/FSPMI
Said Iqbal : Presiden KSPI/FSPMI
Berbagai kebijakan ketenagakerjaan yang diterbitkan pemerintah selama ini dinilai belum optimal melindungi hak-hak kaum pekerja. Sehingga saat ini kaum pekerja, khususnya di sektor formal, belum dapat hidup sejahtera. Kaum pekerja hanya diposisikan sebagai penonton atas pertumbuhan perekonomian Indonesia yang tergolong tinggi diantara negara lain di dunia. Padahal, pekerja berperan penting menggerakan perekonomian di sebuah negara, tak terkecuali Indonesia.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mewacanakan agar pekerja tidak lagi hanya mengandalkan kontrak politik dengan partai-partai politik (parpol) yang ada, tetapi juga mulai berpikir untuk mendirikan parpol sendiri.
Iqbal menjelaskan produktifitas pekerja di Indonesia tak kalah dibandingkan dengan negara lainnya. Namun, perbandingan itu harus dilakukan setara seperti produk mobil yang diproduksi di Indonesia lebih laku dipasaran ketimbang yang diproduksi di Thailand. Padahal mobil itu diproduksi oleh satu perusahaan yang sama, asal Jepang. Begitu pula sebuah perusahaan tambang multinasional yang beroperasi di Papua, mampu menyumbang 30 persen dari seluruh keuntungan perusahaan yang bermarkas di Amerika Serikat itu.
Kemudian, Iqbal menyebut dengan daya beli yang dimiliki, konsumsi kaum pekerja berkontribusi terhadap bergeraknya perekonomian Indonesia. Sayangnya, penghargaan yang diberikan kepada kaum pekerja di Indonesia minim. Sebab, masih banyak kaum pekerja yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Oleh karena itu Iqbal berpendapat kaum pekerja bukan hanya perlu melek hukum ketenagakerjaan tapi juga politik. Sehingga dapat melindungi hak-haknya sebagai pekerja sekaligus warga negara. Makanya serikat pekerja dituntut mampu memberikan kesadaran politik kepada kaum pekerja. Selaras hal tersebut untuk menghadapi Pemilu 2014, serikat pekerja, khususnya yang tergabung dalam KSPI berupaya menjalin kontrak politik dengan partai politik yang mau mengakomodir kepentingan pekerja. Bahkan meminta jatah menteri untuk diduduki oleh kader dari serikat pekerja.
Namun ke depan, Iqbal yakin serikat pekerja bakal menentukan arah kebijakan Indonesia. Menurutnya hal itu telah dibuktikan oleh sejarah berdirinya Republik Indonesia yang tak lepas dari gerakan kaum pekerja. Bahkan ia melihat di berbagai negara maju, peran kaum pekerja di pemerintahan sangat berpengaruh. Seperti German, Inggris, Australia, Jepang dan Singapura. Salah satu cara mewujudkan harapan itu dapat ditempuh lewat partai politik (parpol).
Iqbal menjelaskan, sejak Pemilu 1999 bermunculan parpol yang didirikan pimpinan serikat pekerja. Namun, setiap ikut menjadi peserta Pemilu parpol yang mengidentifikasi dirinya sebagai wadah kaum pekerja itu tidak pernah meraih suara yang signifikan.
Menurut Iqbal faktor utama yang menyebabkan parpol tersebut gagal karena tidak mampu meraih simpati dari kaum pekerja. Sebab parpol itu didirikan bukan berdasarkan kehendak kaum pekerja yang menjadi basis massa tapi syahwat politik pimpinan serikat pekerja yang mendirikan parpol tersebut. Ujungnya, parpol itu selalu gagal dalam Pemilu. “Kegagalan parpol buruh selama ini karena tidak dilahirkan dari kepentingan anggotanya tapi pemimpinnya,” katanya dalam diskusi di FISIP UI, Depok, Selasa (25/3).
Sejalan hal itu Iqbal menekankan untuk mendirikan sebuah parpol, ada tahapan yang harus ditempuh serikat pekerja. Pertama, mendorong semua pekerja untuk berserikat dan berorganisasi. Sehingga kaum pekerja dapat teridentifikasi dalam sebuah kelas yang independen. Sekalipun serikat pekerja mampu mendirikan parpol bukan berarti serikat pekerja tunduk pada parpol tersebut. Sebab, serikat pekerja bukan hanya berjuang secara politik tapi juga di tingkat perusahaan. Oleh karenanya independensi serikat pekerja harus dijaga.
Kedua, menurut Iqbal perlu membangun kesadaran politik kepada anggota serikat pekerja untuk aktif dalam setiap perjuangan yang dilakukan, terkait ketenagakerjaan ataupun kebijakan publik. Misalnya, patuh membayar iuran untuk setiap kegiatan yang dilaksanakan seperti melakukan demonstrasi. Ketiga, harus ada pendidikan ideologis untuk memperkuat pemahaman kaum pekerja terhadap kelasnya.
Selain itu harus dibentuk tim khusus untuk melakukan pengkajian apakah anggota serikat pekerja menginginkan pembentukan parpol atau tidak. Namun, sekalipun parpol sudah terbentuk Iqbal menyadari tidak otomatis kaum pekerja mampu berkuasa di tingkat eksekutif dan legislatif. Sebab butuh proses panjang untuk mencapainya. “Jadi kalo kita bisa konvensi bentuk parpol berdasarkan keinginan kaum pekerja, kemudian kita punya dua juta (basis massa) bisa jadi parpol peringkat menengah,” urainya.
Tak Akomodasi Pekerja
Hal senada dikatakan Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Sjukur Sarto. Menurutnya, kegagalan parpol buruh pada Pemilu sebelumnya dikarenakan tidak mengakomodasi kepentingan kaum pekerja. Selain itu, ia menilai pekerja cenderung mendukung parpol yang mau mengakomodasi tuntutan mereka. Seperti menolak upah murah dan menghapus outsourcing.
Sarto mencatat ada empat parpol buruh yang menjadi peserta Pemilu 1999, dua parpol pada Pemilu 2004 dan 2009. Tapi 2014 tak ada satupun parpol buruh yang lolos menjadi peserta Pemilu. Menurutnya, kondisi itu menunjukan parpol yang menggunakan nama pekerja tidak mampu meraih dukungan signifikan dari kaum pekerja. Sehingga gagal mendapat kursi di parlemen. “Kaum pekerja itu asal dipenuhi kemauannya pasti parpol yang mengakomodir kepentingan itu akan diikuti (didukung pekerja,-red),” ucapnya.
Sarto menyebut ada sekitar 192 orang yang berhasil menduduki kursi parlemen di daerah. Beberapa diantaranya menjabat sebagai Bupati dan anggota DPR. Namun, pengurus KSPSI yang memangku jabatan publik itu tidak menggunakan parpol buruh sebagai kendaraan politknya, melainkan menggunakan organisasi masyarakat (ormas) yang kuat. “Parpol pekerja nggak laku karena tidak mengutamakan kepentingan pekerja,” tuturnya.
Ketua Umum Partai Rakyat Pekerja (PRP), Anwar Ma’ruf, mengatakan kaum pekerja harus berpolitik. Ia mengatakan dengan berpolitik maka kaum pekerja dapat meraih kekuasaan. Kemudian mendorong terciptanya kebijakan yang mendukung kesejahteraaan pekerja baik itu sektor industri, petani, nelayan, informal dan orang miskin.
Melihat kondisi yang ada, ia memperkirakan pada Pemilu 2014 kaum pekerja di Indonesia belum bisa mendirikan parpol. Tapi pada Pemilu 2019 harus ditargetkan kaum pekerja sudah punya parpol sendiri. “Pemilu 2019 buruh harus bikin parpol dan memenangkan Pemilu,” tegasnya.
Dosen Politik Perburuhan FISIP UI, Cosmas Batubara, berpendapat gerakan pekerja kerap bersinggungan dengan politik. Kondisi itu sudah terjadi di masa sebelum Indonesia merdeka tahun 1945. Serikat pekerja mulai ada di Indonesia sejak 1879, ditandai dengan lahirnya beberapa organisasi pekerja seperti Serikat Pekerja Guru Hindia Belanda. Pertumbuhan serikat pekerja semakin meningkat di tahun 1917.
Pada masa pemerintahan orde lama, Cosmas menjelaskan semua parpol peserta Pemilu 1955 mendirikan serikat pekerja. Bahkan untuk meminimalisir pengaruh Partai Komunis Indonesia yang ketika itu memayungi serikat pekerja SOBSI, Perdana Menteri Natsir sempat melarang kegiatan mogok kerja.
Bahkan ada yang menyebut kebijakan itulah yang mengakibatkan kabinet Natsir jatuh. Kemudian di masa orde baru, serikat pekerja mulai lepas dari parpol dan dijadikan satu wadah yaitu SPSI. Pada era reformasi, Cosmas menandaskan, pemerintah Habibie meratifikasi bermacam konvensi ILO dan tertuang dalam berbagai peraturan. Salah satunya UU Serikat Pekerja.
Merujuk sejarah itu, Cosmas menilai kaum pekerja harus menentukan parpol dan capres mana yang akan dipilih untuk mengakomodir kepentingan mereka. Ia memperkirakan ke depan tidak menutup kemungkinan kaum pekerja mendirikan parpol sendiri. Apalagi arah perekonomian Indonesia menuju industri sehingga memperbesar jumlah kaum pekerja. “Di tahun yang akan datang kehadiran parpol buruh itu peluang kemunculannya lebih besar,” pungkasnya.

Said Iqbal: Jika Negara Ini Mau Maju, Konsumsi Domestik Harus Ditingkatkan


Said Iqbal
Sudah banyak kritik yang kita sampaikan terkait dengan investasi versus kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Saya rasa semua kritik itu disampaikan dengan data dan fakta. Dan bukan hanya kritik semata yang kita lontarkan. Tetapi kita juga menyampaikan solusi untuk menyelesaikan permasalahan. Buruh punya gagasan. Ia tidak hanya bisa teriak di jalanan.
Yang ingin saya tawarkan adalah, jangan menjadikan tolak ukur pertumbuhan ekonomi semata-mata hanya dari sisi investasi. Perhatikan juga sisi konsumsi. Bagaimana mungkin kita menggenjot tumbuhnya investasi sementara rakyat tak memiliki daya beli. Tentu saja, yang saya maksud konsumsi disini adalah konsumsi yang real.
Menurut saya, konsumsi yang real adalah konsumsi domestik.
Coba anda lihat Negara-negara seperti Cina, Brasil, Jepang, atau Singapura. Negara-negara itu adalah contoh negara yang ketika tingkat ekonominya tumbuh, maka daya beli masyarakatnya juga tumbuh.
Barang-barang yang mereka produksi laku dalam pasar dalam negerinya. Masyarakatnya punya daya beli dan memang mau membeli produk domestiknya Ada nasionalisme disitu. Cinta produk dalam negeri dan bukan bangga menjadi konsumen produk impor.
Lihatlah Jepang, setelah Restorasi Meiji. Restorasi meiji merupakan suatu gerakan pembaruan yang dipelopori oleh Kaisar Mutsuhito, atau Kaisar Meiji. Restorasi Meiji dikenal juga dengan sebutan Meiji Ishin, Revolusi, atau pembaruan. Restorasi Meiji merupakan suatu rangkaian kejadian yang menyebabkan perubahan pada struktur politik dan sosial Jepang.
Restorasi ini terjadi pada tahun 1866 sampai 1869, tiga tahun yang mencakup akhir zaman Edo dan Awal zaman Meiji. Restorasi Meiji bisa dikatakan sebagai jaman “pencerahan” Jepang setelah selama 200 tahun lebih menutup diri dari hubungan luar di bawah kepemimpinan rezim Tokugawa. Restorasi Meiji menjadi penanda bahwa Jepang mulai melangkah sebagai negara yang maju. Sejalan dengan arti dari kata meiji sendiri: ”yang berpikiran cerah”.
Banyak kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam dibidang industri, pemerintahan, pendidikan maupun militer akibat dari Restorasi Meiji. Kemajuan-kemajuan tersebut dicapai hanya dalam kurun waku kurang dari 50 tahun. Saat itu, di Jepang, produk dari dalam negerinya sendiri, dibeli oleh bangsanya sendiri. Ingat tidak dengan mobilk kijang Kotak Sabun, dibeli oleh orang jepang sendiri. Mau sejelek-jeleknya mobil Jepang, pokoknya dia bangga beli produk sendiri. Didorong oleh hasrat mengejar ketertinggalan, banyak pengusaha industri Jepang memperbesar industrinya tanpa perhitungan yang matang. Akibatnya berbagai jenis industri melimpah-ruah memenuhi pasaran dalam negeri Jepang sendiri. Harga barang pun turun dengan cepat. Rakyat Jepang sebagai konsumen menjadi makmur.
Mari kita lihat Cina, ketika Deng Xiaoping mengatakan “Saya tidak peduli, apa itu kucing putih atau kucing hitam, sejauh kucing itu bisa menangkap tikus, itu kucing yang baik.” Setelah itu rakyat Cina bekerja bahu membahu. Akhirnya Negeri Cina makin maju seperti sekarang. Nasionalisme Cina menjadikan ekonomi tumbuh, bahkan diatas dua digit. Semua produk Cina dibeli oleh orang Cina. Motor, misalnya, mau hancur kek, dia beli juga.
Brasil adalah contoh yang terbaru, dengan Lula da Silva (2002-2011). Ketika Lula da Silva, yang  berlatar buruh pabrik dan menjadi pemimpin Partai Buruh Brasil itu akhirnya terpilih sebagai Presiden Brasil pada 2002 (setelah tiga kali gagal dalam pemilu), untuk mengatasi krisis ekonomi ia menerapkan kebijakan menaikkan upah buruh, mendorong investasi pemerintah, dan perhatian baru pada kebijakan industri. Pernyataan pertama di hadapan publik yang disampaikan Lula: akan menaikkan upah minimum buruh secara riil sebesar 50 persen dalam lima tahun.
Bukan sekedar nominalnya yang dinaikkan. Tetapi upah riil-nya yang naik. Anda bisa bayangkan, setelah 10 tahun Lula berkuasa, upah di Brasil naik 300 persen.
Caranya, pemerintah memilih industri manufaktur yang paling penting di Brasil, dalam arti mempekerjakan paling banyak buruh dan mampu mendorong pertumbuhan di sektor lainnya. Pajak produk industri kemudian diturunkan sehingga harga produk murah, agar pengusaha dapat menaikkan upah buruhnya dengan pada saat sama juga mencegah terjadi pemutusan hubungan kerja.
Untuk mendorong konsumsi, saban hari Presiden Lula berpidato di televisi mendorong rakyatnya membelanjakan upahnya dengan membeli produk dalam negeri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestiknya. Program perlindungan sosial juga dikembangkan. Jaminan pensiun diperluas, hingga 85,7 persen warga usia 65 ke atas menikmatinya, dengan total 34 juta penduduk yang menikmati,termasuk 8,2 juta penduduk pedesaan.
Dampak langsung dari upaya tersebut adalah pengurangan Koefisien Gini secara konsisten dari 2003 sampai 2010 saat da Silva menjabat. Dengan berkurangnya Koefisien Gini, berarti ketimpangan antara si miskin dengan si kaya menjadi berkurang. Produksi berbagai produk Brasil meningkat signifikan, buruh lebih sejahtera, dan PHK dapat dihindari.
Kemudian lihatlah kebijakan Singapura. Mereka menaikkan upah untuk meningkatkan produktivitas. Kalau anda pergi ke buruh-buruhnya Singapura, mereka punya daya beli. Daya beli itu adalah upah.
Tetapi upah yang naik, secara bersamaan harus diimbangi dengan pengendalian harga-harga, membuka belenggu hambatan-hambatan inveasti.
Yang terjadi sekarang, sudahlah habatam investasi dibiarkan, ditambah dengan kebijakan upah murah. Jelas kita tidak akan bisa terima!
Baru menaikkan 42%  tahun 2013 lalu, sekarang sudah diturunin lagi. Saya kira, seharusnya bukan begitu cara berfikirnya. Itu cara berfikir yang ngawur.
Dan itu adalah tugas pemerintah untuk melakukannya. Jangan mengatakan kami ini hanya bisa nuntut upah naik dan tidak pernah bicara turunkan harga.
Sekali lagi, kita setuju dengan inveasti. Tetapi jangan dijadikan investasi yang tumbuh sebagai cara untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Konsumsi domestik juga harus dinaikkkan. Dan cara untuk mengukur konsumsi domestik adalah purchasing power. Daya beli.

Serikat Pekerja BCA (SP BCA) VS PT Bank Central Asia Tbk Berlanjut di PHI


Gugatan yang dilakukan Serikat Pekerja BCA (SP BCA) kepada PT Bank Central Asia Tbk telah memasuki sidang perdana di Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta. Salah satu pasal yang dituntut adalah tentang kenaikan upah atau gaji berkala.
Dalam surat gugatannya, SP meminta adanya kenaikan gaji reguler minimal 2 kali setahun. “Di BCA kenaikan gaji itu paling satu kali setahun. Ya minimal 2 kali setahun. Kalau pertama masuk jadi eselon VII terus keluar tetap eselon VII juga, berarti ada yang tidak beres,” ujar Hadrianus, Anggota SP BCA Bersatu di Pengadilan Hubungan Industrial, Jakarta, Senin (24/3/2014).
Permasalahan gaji yang dituntut oleh SP BCA merupakan aspirasi karyawan BCA. Menurut Hadrianus, ada karyawan yang sudah 20 tahun bekerja tatepi hanya mendapatkan gaji Rp 7 juta-Rp 8 juta.
“Kawan-kawan karyawan yang di dalam pekerja reguler, sudah kerja 15 sampai 20 tahun masak gajinya masih di angka Rp 7 juta – Rp 8 juta, ini kan kurang beres. Jadi yang beprestasi tidak di apresiasi,” tandasnya.
Sebelumnya, SP BCA Bersatu telah melakukan gugatan terhadap PT Bank Central Asia Tbk mengenai perselisihan kepentingan menyangkut isi Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tahun 2012-2014 sebanyak 20 poin yang terdapat dalam 20 pasal.
Poin-poin yang diusulkan perubahannya antara lain kenaikan upah/gaji berkali, dana pensiun, kontribusi kerja dalam program pensiun, pajak penghasilan, istirahat panjang (cuti besar), sistem jenjang kepangkatan dan eselon, promosi, pinjaman kendaraan bermotor dan pinjaman perumahan.

Banyak Pabrik Tutup, Jumlah Pekerja Otomotif di Australia Justru Bertambah


(Image : http://www.vectorfree.com)
(Image : http://www.vectorfree.com)
Meski Toyota, Ford, dan Holden (General Motors) sudah memutuskan untuk menghentikan operasional pabriknya di Australia, jumlah pekerja di bidang otomotif justru bertambah. Data Auto Skills Australia (ASA) menunjukkan, sekitar 4.000 lapangan kerja tercipta periode tahun fiskal 2012-2013.
Sampai Juni 2013, tercatat total 361.000 orang ditawarkan untuk bekerja di bidang otomotif, merupakan pertumbuhan terbesar dari sektor tenaga kerja di Australia. Divisi yang berkembang meliputi, penjualan suku cadang, perbaikan, perawatan, dan penjualan ban kendaraan.
“Penambahan pekerja di sektor ini lebih baik kondisinya, mengimbangi ancaman kehilangan pekerjaan di sektor perakitan dan penjualan kendaraan. Menunjukkan agregat positif, penambahan jumlah pekerja dari seluruh sektor penunjang industri,” tulis Auto Skills, yang dilansir Inautonews, akhir pekan lalu (23/3/2014).
Perakitan kendaraan
ASA menambahkan, jumlah pekerja yang ada di sektor perakitan kendaraan hanya berkisar 13 persen, sisanya justru datang dari industri pendukung, seperti servis, perbaikan, dan perawatan. Hasil survei terkini yang dilakukan menunjukkan 44 persen dari bisnis otomotif berkaitan dengan layanan purna jual.
Setidaknya ada 15 persen responden berkomentar bisnis ini akan menghadapi pertumbuhan yang negatif. Tapi, 50 persen responden lain percaya kondisi bisnis otomotif akan membaik dalam beberapa tahun terakhir meskipun tidak punya basis produksi lagi.
“Perusahaan besar itu (principal otomotif) sekarang tengah mencari jalan supaya tetap bisa ikut dalam industri otomotif dengan inovasi baru. Antara lain, menciptakan fasilitas bengkel yang bagus, pelatihan pegawai, modal usaha untuk peralatan, mengejar fokus konsumen, dan potensi servis,” tulis ASA.

Bernuansa Kampanye, Nama SBY Dicabut dari Surat Edaran BPJS Kesehatan


Foto Aksi KAJS dalam memperjuangkan Jaminan Kesehatan
Foto Aksi KAJS dalam memperjuangkan Jaminan Kesehatan
Surat Edaran Direksi BPJS Kesehatan No.0055 Tahun 2014 tentang Pengiriman Surat Pelanggan Kepada Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dikritik berbagai pihak. Sebab, surat edaran itu dianggap berpotensi digunakan untuk kampanye partai politik tertentu. Kepala Grup Komunikasi dan HAL BPJS Kesehatan, Ikhsan mengatakan BPJS Kesehatan merespon masukan masyarakat tersebut dengan cara merevisi surat edaran itu.
Ikhsan menjelaskan, surat edaran itu tidak ditujukan untuk kampanye, tapi melakukan sosialisasi kepada peserta PBI agar menggunakan hak konstitusionalnya untuk mendapat pelayanan kesehatan. Surat edaran itu diterbitkan direksi setelah melakukan evaluasi pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digelar lewat BPJS Kesehatan. Salah satu hasil evaluasi itu menunjukan tidak sedikit masyarakat, khususnya yang sebelumnya menjadi peserta Jamkesmas kebingungan apakah mereka masih bisa atau tidak mendapatkan pelayanan kesehatan.
Mengingat peserta Jamkesmas beralih menjadi peserta PBI pada program JKN yang diselenggarakan lewat BPJS Kesehatan, Ikhsan melanjutkan, maka perlu dilakukan sosialisasi. Salah satu caranya dengan mengirimkan surat pemberitahuan kepada setiap peserta PBI. “Selama ini sebagian masyarakat belum mengetahui apakah dirinya masuk PBI atau tidak. Dengan adanya surat edaran itu maka kami memberitahu kalau masyarakat yang bersangkutan masuk PBI,” katanya kepada hukumonline lewat telpon, Senin (24/3).
Namun, Ikhsan mengakui masyarakat menyorot tajam surat edaran itu karena salah satu isinya menyebut program JKN diluncurkan Presiden SBY. Sehingga surat edaran itu dituding sebagai kampanye terselubung. Menanggapi masukan itu maka BPJS Kesehatan merevisi surat edaran tersebut dan mengganti Presiden SBY menjadi Presiden RI.
Terpisah, Koordinator Advokasi BPJS Watch sekaligus Presidium KAJS, Timboel Siregar berpendapat surat edaran yang ditujukan kepada Kepala Divisi Regional I-XII dan Kepala Cabang BPJS Kesehatan itu menekankan peran Presiden SBY. Sehingga terkesan surat edaran itu bernuansa politis.
Menurut Timboel, adanya penekanan peran Presiden SBY dalam peluncuran program JKN sebagaimana disebut dalam surat edaran itu dinilai mengarah pada kampanye terselubung. Dugaannya itu semakin kuat karena regulasi internal BPJS Kesehatan itu diterbitkan bertepatan dengan masa kampanye Pemilu 2014. Apalagi surat edaran itu menginstruksikan Kepala Divisi Regional I-XII dan Kepala Cabang BPJS Kesehatan memberikan surat pelanggan atau informasi “berobat gratis” kepada semua peserta PBI dengan penekanan peran Presiden SBY.
Kemudian, Timboel melanjutkan, surat edaran itu juga memerintahkan semua kantor cabang BPJS Kesehatan mengadakan pertemuan dalam rangka sosialisasi dan melibatkan Pemda, Kepala Puskesmas, Kepala desa atau Lurah setempat. Pertemuan itu paling lambat dilakukan 28 Maret 2014. Dalam surat edaran itu biaya pencetakan dan distribusi surat informasi “berobat gratis” yang dilayangkan kepada peserta PBI serta pertemuan untuk sosialisasi ditanggung BPJS Kesehatan.
Atas dasar itu, Timboel mengindikasikan surat edaran tersebut sebagai kampanye terselubung Presiden SBY dalam masa kampanye Pemilu legislatif yang berlangsung 16 Maret sampai 5 April 2014 dengan memanfaatkan BPJS Kesehatan. “Indikasi kuat tampak pada isi surat edaran tersebut yang menekankan peran Presiden SBY untuk berjalannya Program JKN yang diluncurkan 31 Desember 2013. Serta dikonstruksikan bahwa Presiden SBY lah yang menjadi “pahlawan” beroperasinya BPJS Kesehatan,” tukasnya.
Alih-alih berperan dalam peluncuan program JKN yang digelar BPJS Kesehatan, Timboel berpendapat di masa pemerintahan Presiden SBY periode 2004-2009, UU SJSN ditelantarkan. Sehingga DPR yang menginisiasi pembahasan RUU BPJS yang kemudian disahkan 28 Oktober 2011.
Sekalipun UU BPJS sudah disahkan, Timboel mencatat pemerintahan SBY masih lamban merespon amanat regulasi itu. Khususnya pasal 70 UU BPJS yang mengamanatkan pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana UU BPJS paling lambat satu tahun untuk BPJS Kesehatan dan dua tahun BPJS Ketenagakerjaan sejak UU BPJS diundangkan. Akibat keterlambatan pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana BPJS, masyarakat dirugikan. “Membuat rakyat menjadi sulit mendapatkan hak konstitusionalnya,” ucapnya.
Mengacu kondisi tersebut Timboel merasa aneh jika surat edaran BPJS Kesehatan itu menekankan peran Presiden SBY terhadap bergulirnya program JKN melalui BPJS Kesehatan. Padahal, sejak program JKN dimulai, BPJS Watch sudah menesak agar pemerintah dan BPJS Kesehatan segera melakukan sosialisasi untuk seluruh masyarakat, bukan hanya kepada PBI. Hal itu selaras dengan amanat pasal 10 huruf (g) UU BPJS yang menyebut tugas BPJS memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program Jaminan Sosial kepada peserta dan masyarakat.
Oleh karena itu Timboel heran kenapa surat edaran BPJS Kesehatan itu diterbitkan pada masa kampanye Pemilu 2014 yang berlangsung 16 Maret-15 April 2014. Kemudian ada pembatasan agar sosialisasi dilakukan paling lambat sampai akhir Maret 2014.
Mengenai biaya sosialisasi yang ditanggung seluruhnya oleh BPJS Kesehatan, Timboel mengaku tidak sepakat. Sebab JKN adalah program pemerintah pusat, maka pembiayaan kegiatan program tersebut harus ditanggung bukan hanya oleh BPJS Kesehatan, tapi juga pemerintah dengan menggunakan dana APBN. Ia khawatir surat edaran itu menguntungkan partai politik tertentu karena dapat dimanfaatkan untuk kegiatan kampanye.
Untuk menyelesaikan persoalan tersebut Timboel menyebut BPJS Watch mendesak direksi BPJS Kesehatan segera mencabut surat edaran itu. Kemudian melakukan sosialisasi dengan cara yang lebih baik dan meminimalisir kemungkinan terjadinya kampanye terselubung. BPJS Kesehatan perlu menggandeng Puskesmas, Kelurahan dan Kecamatan untuk pendaftaran peserta sekaligus sosialisasi. Tak kalah penting BPJS Watch mendorong DJSN, BPK dan KPK untuk memantau penggunaan dana sosialisasi JKN – BPJS Kesehatan yang berpotensi dipakai untuk kampanye partai politik tertentu.
“Selama ini BPJS Kesehatan hanya membuka pendaftaran di Kantor BPJS Kesehatan dan beberapa Bank Pemerintah yang memang sulit bagi rakyat untuk menjangkaunya dan mendaftar,” papar Timboel.
Terpisah, Guru Besar FKM UI, Hasbullah Thabrany, menilai surat edaran itu bepotensi ditafsirkan sebagai upaya memanfaatkan JKN untuk kampanye partai politik tertentu pada Pemilu 2014. Indikasi itu terlihat jelas karena dalam surat edaran tersebut ada penekanan peluncuran JKN oleh Presiden SBY. Padahal, JKN baru dilaksanakan ketika pemerintah dan DPR terus-terusan mendapat tekanan dari serikat pekerja. “Harusnya surat edaran itu tidak perlu menyebut (program JKN diluncurkan oleh Presiden SBY,-red) begitu,” usulnya.
Anasir itu makin kuat karena surat informasi “berobat gratis” kepada 86,4 juta peserta PBI itu dilayangkan ke rumah peserta. Ditambah lagi partai politik yang saat ini berkuasa dalam kampanyenya seolah paling berperan dalam penyelenggaraan JKN. Misalnya, menyebut anggaran untuk peserta PBI dinaikan tiga kali. “Padahal naiknya iuran PBI itu karena tekanan yang kuat dari masyarakat,” tegasnya.
Hasbullah menyarankan harusnya sosialisasi gencar dilakukan oleh BPJS Kesehatan dan pemerintah sejak beberapa tahun lalu. Selain itu sosialisasi harusnya menyasar pada rumah sakit (RS), tenaga medis seperti dokter dan petugas BPJS Kesehatan. Menurutnya sosialisasi itu penting karena dari pihak penyelengara BPJS, terutama di lapangan belum memiliki pemahaman yang seragam. Khususnya dalam teknis pelaksanaan program JKN.

Siapa Menguasai Media, Menguasai Dunia


Peran Media yang sangat kuat sebagai pembentuk pola pikir ( images : google )
Peran Media yang sangat kuat sebagai pembentuk pola pikir
Geliat gerakan serikat pekerja menuntut perbaikan hidup pekerja dalam kurun waktu lima tahun belakangan ini sangat massif, hampir setiap saat kita dengar beritanya di televisi , media cetak dan media online.  Banyak capaian penting yang diraih oleh gerakan serikat pekerja selain berupa perbaikan taraf hidup dengan kenaikan upah, gerakan serikat pekerja juga adalah motor terciptanya sistem jaminan sosial nasional yang sekarang lebih di kenal dengan  BPJS Kesehatan.
Namun patut disayangkan berita dan opini yang ditayangkan sangat memojokan gerakan serikat pekerja, pemberitaan lebih banyak menyoroti sisi negatifnya berupa macet, menganggu ketertiban, anarkis dll sehingga stigma di masyarakat adalah buruh=bikin rusuh.
Melihat fenomena tersebut maka pada Sabtu 22 Maret 2014 Tim Media FSPMI  melakukan pelatihan mengenai menulis dan sosial media sekaligus pembentukan tim media FSPMI daerah Bekasi sebagai cikal bakal tim media daerah lain yang selain berfungsi mengumpulkan dokumentasi juga sebagai penyeimbang opini negatif tersebut.
Pendidikan tim media Bekasi ( foto : Jaket Ijo )
Pendidikan tim media Bekasi ( foto : Jaket Ijo )
Acara yang di fasilitasi oleh KC ( konsulat cabang ) FSPMI Bekasi ini di ikuti oleh 12 peserta.Pada pelatihan ini peserta di kenalkan mengenai media cetak dan online yang dimiliki organisasi, tujuan dan ruang lingkup kerja tim media serta panduan dasar dalam menulis.
Pada akhir pelatihan peserta mendapatkan pekerjaan rumah berupa menulis pengalamannya mengenai Rumah Buruh.Rencananya tulisan yang terkumpul dari peserta akan di terbitkan menjadi sebuah buku.
Setelah ini agenda berikutnya adalah pembentukan tim media daerah di Jawa Timur, Batam, Purwakarta dan daerah lain yang menjadi basis FSPMI

Senin, 24 Maret 2014

Said Iqbal: Mempersoalkan Investasi


Ir. H. Said Iqbal, ME
Ir. H. Said Iqbal, ME
Saya ingin mengatakan, kita membutuhkan pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya ekonomi yang tumbuh, setidaknya kita memiliki harapan, angka kemiskinan bisa ditekan. Lapangan pekerjaan bisa tercipta. Cita-cita kesejahteraan menjadi nyata.
Akan tetapi yang ingin kita kritisi, atau dengan kalimat yang lebih tajam, kali ini kita ingin menggugat kebijakan Pemerintah yang mengukur pertumbuhan  ekonomi melalui pendekatan dari sisi pengeluaran.Jika pendekatannya semacam itu maka akan sulit terbaca: apakah pertumbuhan ekonomi itu memberikan dampak pada menguatnya daya beli rakyat. Dengan kata lain, ketika ekonomi tumbuh, penghasilan rakyat ikut tumbuh atau tidak? Suku bunganya tumbuh atau tidak?
Kalau bagi saya, sederhana melihatnya.
Mengapa ekonomi yang tumbuh itu masih saja membuat rakyat bertambah miskin? Jelas ini ada sesuatu yang salah!
Jika meminjam pemikiran Burhanudin Abdullah, situasi ini disebut sebagai paradoks pertumbuhan ekonomi. Karena meski ekonomi tumbuh, namun belum mampu menyerap tenaga kerja untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang semacam ini tidak berkualitas.
Lebih jauh, Burhanuddin pernah mengatakan, perlunya untuk mengantisipasi terjadinya “trickle up economy” yang dapat membuat kesenjangan semakin melebar. “Trickle up economy” berbeda dengan “trickle down effect“, di mana dalam konteks menetes ke bawah, pertumbuhan ekonomi sekian persen, berarti menciptakan lapangan kerja sekian ratus ribu yang mensejahterakan masyarakat. Sedangkan dalam konsep “trickle up effect” yang terjadi justru sebaliknya. Yang diuntungkan hanya masyarakat kaya.
Anda bisa lihat, saat ini data memperlihatkan ekonomi sedang tumbuh, akan tetapi orang tetap miskin. PHK banyak. Kemudian secara faktual jumlah pengangguran meningkat. Saya rasa kita juga harus merevisi ukuran BPS yang tentang orang yang kerja selama 1 jam seminggu tidak tergolong orang yang menganggur. Banyak terminologi di BPS yang harus direvisi. Saya ingin mengatakan, pengangguran terbuka di Negeri ini sangat banyak sekali. Melampaui dari angka yang disajikan oleh Pemerintah.
Tadi Prof Ina menyampaikan, (maksudnya Prof. Dr. Ina Primiana Syinar, SE. MT ), saat ini pertumbuhan ekonomi kita trendnya menurun. Meskipun begitu, saya masih sangat yakin sekali, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di angka 5 (lima) besar pertumbuhan ekonomi dunia.
Tahun lalu pertumbuhan kita 6,3% dan pada 2 tahun lalu masih diperingkat 2 besar dunia setelah Cina, sebagaimana yang dirilis oleh Bank Dunia. Produk Domestik Bruto (PDB) kita meningkat ke nomor 15 dunia tahun lalu dan pada tahun 2015 nanti kalau ekonomi tumbuh terus maka PDB kita diperkirakan tembus ke peringkat 10 besar dunia. Tahun 2030, bahkan diprediksi kita akan masuk ke nomor 7 dunia, setara dengan Amerika, Kanada, Prancis, dsb.
Jika mau kita gambarkan secara sederhana, PDB itu adalah pendapatannya Negara. Nah, idealnya, semakin tinggi pendapatan suatu Negara, maka kesejahteraan rakyatnya juga harus semakin tinggi.
Tapi angka-angka yang saya sampaikan tadi kan hanya prediksi-prediksi yang menggunakan ilmu kapitalisasi modal tadi. Sementara yang saat ini kita permasalahkan adalah, masuknya inveastasi tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan.
Kita setuju investasi masuk, pengusaha mendapatkan keuntungan, ekonomi tumbuh, kemudian hubungan industrial dibangun, tetapi kita tidak setuju ketika mereka mendapatkan keuntungan secara ekonomi akan tetapi pada saat yang bersamaan rakyat tetap miskin.
Ini saja masalahnya. Secara sederhana, saya sering bilang kepada kawan-kawan buruh: kamu boleh kaya, kamu boleh beli mobil mewah, tinggal di rumah yang megah, tapi secara bersamaan kamu nggak boleh memiskinkan kaum buruh.
Dan alat ukur untuk miskin atau tidak miskin itu kan pendapatan. Ketika berbicara pendapatan, itu artinya kita sedang berbicara tentang upah. Tentu saja, kita juga tidak ingin ketika upah naik kemudian diiringi dengan tingkat harga yang naik pula. Dan untuk mengendalikan harga saya kira menjadi tugas pemerintah.
Saya ingin menggugat perihal pertumbuhan ekonomi yang dipakai  Pemerintah sampai hari ini – mungkin juga penerintah yang akan datang – yang menggunakan pendekatan dari sisi pengeluaran. Apa itu sisi pengeluaran? Konsumsi, Investasi, Belanja Negara (APBN/APBD), dan Net Eksport. Kita tahu, data yang menunjukkan saat ini kita lebih banyak impor, sehingga devisit.
Cobalah lihat apa yang dilakukan Pemerintah dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Selalu bertumpu pada hadirnya investasi ke negeri ini. Konsekwensinya, kalau kita mengundang investasi asing untuk datang, harus ada “karpet merah” yang digelar. Tidak mungkin menyuruh orang masuk dengan membawa duit (investasi) ditaruh ditanah becek.
Apa “karpet merah” yang disiapkan pemerintah? Macam-macam. Ada pekerja outsourcing (Flexible Labour Market), menggunakan jam kerja panjang (Flexible Working Hour), meminta kebijakan upah murah (Low Wages Policy), dan menekankan kontrak kerja individu tanpa hak berserikat (Individual Contract). Itu semua adalah “karpet merah” yang secara sadar disiapkan oleh pemerintah.
Bahkan di penerbangan-penerbangan Internasional, masih ada aja selebaran dari BKPN yang menyebutkan salah satu kelebihan investasi di Indonesia adalah upah murah. Hal-hal seperti inilah yang kita permasalahkan. Kenapa baru mengundang saja, mereka belum datang dan belum tentu mau datang, tetapi diskusinya tentang buruh murah, fleksibel labour market, dan sebagainya.
Sekali lagi, inilah yang kita persoalkan!

KNGB Selenggarakan Serial Diskusi Kerakyatan


Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh (KNGB) menyelenggarakan Serial Diskusi Kerakyatan. Direncanakan, diskusi seperti ini akan diselenggarakan setiap Jum`at siang, dua minggu sekali. Berharap dari sini bisa didapatkan sebuah kesepahaman tentang pokok-pokok pikiran bersama mengenai Indonesia yang kita cita-citakan. Indoneasi yang lebih sejahtera dan adil buat semua.
Diskusi pertama diselenggarakan pada hari Jumat yang lalu (Tanggal 21 Maret 2014) bertempat di Sekretariat LBH Jakarta. Tema yang diambil dalam diskusi perdana ini adalah Investasi Vs Kedaulatan dan Kesejahteraan Rakyat. Menghadirkan tiga orang pembicara, Dr. Revrisond Baswir, Prof. Dr. Ina Primiana Syinar, SE. MT dan Ir. H. Said Iqbal., M.E.
Tema ini diambil, berawal dari sebuah keprihatinan, dimana pemerintah Indonesia lebih mengutamakan kepentingan investor di atas segalanya. Hal ini terbukti dengaan berbagai stimulus yang diberikan pemerintah untuk menumbuh kembangkan investasi & perbankan, khususnya investasi asing. Sehingga kesehatan investasi dan perbankan menjadi hal utama yang selalu diperhatikan pemerintah.
Masalahnya kemudian muncul, manakala Indonesia yang saat ini menjadi Negara terfavorit tujuan investasi Asia dengan peningkatan investasi tiap tahun tidak mampu menurunkan gini index dan jumlah penduduk miskin Indonesia. Harapan akan adanya peningkatan kesejahteraan dengan masuknya investasi hanyalah mitos belaka. Indikatornya jelas. Tingkat upah para buruh/ pekerja yang sangat rendah.
KNGB berpendapat, sudah saatnya pemerintah tidak lagi menjadikan buruh sebagai tumbal atas tercapainya angka-angka perekonomian. Buruh harus dipandang sebagai asset bangsa.
Investasi asing bukanlah satu-satunya nyawa bagi kelanjutan bangsa. Tambang, hutan, lautan, dan aneka kekayaan alam merupakan asset yang harusnya mampu menjadi modal besar bagi negera ini bangsa. Sumber daya manusia Indonesia jelas lebih berharga jika harus ditukar dengan upah murah dan sistem kerja yang tidak mewujudkan adanya kepastian. Buruh, petani, nelayan, dan bonus demografi pemuda merupakan investasi besar untuk mengelola seluruh sumber daya. Sehingga sudah saatnya kekayaan internal menjadi yang utama dan berhenti bergantung pada pihak asing.
Dan satu lagi, jangan lagi mengukur tingkat kesejahteraan hanya berdasarkan angka-angka PDB.
Dari sinilah semuanya berawal. Komite Nasional Gerakan Buruh (KNGB) menganggap perlu adanya kajian mendalam mengenai investasi, kedaulatan & kesejahteraan masyarakat. Sehingga dapat tercipta pemahaman-pemahaman serta solusi yang out of the box untuk membangun negeri ini. Ada tiga hal yang ingin kita lihat. Pertama, apa untung rugi adanya investasi asing? Kedua, apa saja sumber keuangan alternatif sebagai modal pembangunan nasional. Dan yang ketiga adalah, langkah strategis peningkatan kesejahteraan rakyat?
Jalannya diskusi ini tidak hanya kami abadikan dan disebarluaskan hanya melalui tulisan. Kami juga akan terus menyebarkan gagasan-gagasan ini melalui video (You Tube), tulisan dan gambar. Hingga akhirnya nanti, kami ingin membukukan gagasan-gagasan itu sebagai bentuk sumbang sih kami untuk Indonesia. Tujuannya, agar semakin banyak orang yang memahami, bahwa banyak cara untuk membuat Indonesia yang kita cintai ini menjadi lebih baik lagi.
Masalahnya, apakah para pemimpin negeri ini memiliki kepedulian untuk mewujudkan gagasan itu. Kita masih menunggu. Atau pada satu titik nanti, kita lah yang mewujudkan sendiri gagasan-gagasan itu.
Jika Anda tidak hadir dalam diskusi di Jum`at sore ini, jangan kecewa. Anda bisa menyaksikannya melalui link INI dan DISINI.
Ir. H. Said Iqbal, ME
Ir. H. Said Iqbal, ME

s
Prof. Dr. Ina Primiana Syinar, SE. MT

Dr
Dr. Revrisond Baswir

Para pembicara dan moderator dalam Serial Diskusi Kerakyatan yang diselenggarakan KNGB
Para pembicara dan moderator dalam Serial Diskusi Kerakyatan yang diselenggarakan KNGB

Isu Investasi dan Kesejahteraan Dalam Pemilu


Said Iqbal, saat menjadi pembicara dalam Diskusi Kerakyatan bertema Investasi Vs Kedaulatan dan Kesejahteraan Rakyat bersama Prof. Dr. Ina Primiana Syinar, SE,MT dan Dr. Revrisond Baswir di Sekretariat LBH Jakarta pada tanggal 21 Maret 2014.
Said Iqbal, saat menjadi pembicara dalam Diskusi Kerakyatan bertema Investasi Vs Kedaulatan dan Kesejahteraan Rakyat bersama Prof. Dr. Ina Primiana Syinar, SE,MT dan Dr. Revrisond Baswir di Sekretariat LBH Jakarta pada tanggal 21 Maret 2014.

Jujur saja, saya prihatin dengan sikap Partai Politik yang tidak menjadikan isu investasi dan kesejahteraan sebagai isu penting dalam kampanye yang mereka lakukan. Padahal isu investasi dan kesejahteraan ini menjadi barometer, tentang seberapa besar kepedulian mereka terhadap kepentingan kaum pekerja. Sebagai Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (KSPI), saya berharap Partai Politik memiliki komitmen terhadap dua isu ini: investasi dan kesejahteraan.
Sebagaimana kita ketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia di Tahun 2014 ini hanya dipatok pada angka 5,7 – 5,9 persen. Sesungguhnya angka pertumbuhan ekonomimasih bisa didongkrak hingga mencapai angka 6 persen lebih. Angka pertumbuhan ekonomi diatas 6 persen menurut saya sangat realistis. Syaratnya, Partai Politik harus bisa meyakinkan para investor untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Menegaskan didalam kampanye yang mereka lakukan,  bahwa negeri ini sangat aman walaupun sedang ada pemilu.
Tentu, tak hanya berhenti sampai disitu. Partai Politik pun harus meyakinkan rakyat – khususnya kaum buruh – bahwa investasi yang masuk ke Indonesia akan berorientasi pada kesejahteraan dengan tetap menegakan kedaulatan bangsa. Tidak boleh lagi, dalam menarik Investor menggunakan cara-cara lama, seperti: boleh menggunakan pekerja outsourcing (Flexible Labour Market), menggunakan jam kerja panjang (Flexible Working Hour), meminta kebijakan upah murah (Low Wages Policy), dan menekankan kontrak kerja individu tanpa hak berserikat (Individual Contract).
Semua permintaan investor sebagaimana tersebut diatas harus ditolak. Sebaliknya, yang dilakukan oleh Negara adalah membangun infrastruktur (jalan, pelabuhan, Gedung, dsb), adanya keringanan pajak, biaya bea cukai, efisiensi waktu perizinan dan peningkatan produktivitas pekerja. Inilah yang harus dikampanyekan oleh setiap Partai Politik. Dan bukan hanya didalam kampanye, tetapi juga diimplementasikan ketika mereka berhasi meraih kekuasaan nanti.
Pemilu adalah saat yang tepat untuk meningkatkan nilai investasi dengan memberikan janji dan keyakinan kepada investor. Dan secara bersamaan mengkampanyekan penolakan terhadap kebijakan yang berorientasi eksploitasi kepada buruh. Saya menunggu ada Partai Politik dan Capres yang secara tegas menunjukkan keberpihakannya kepada kaum buruh dengan menyuarakan isu-isu tersebut.
Buruh tidak akan tinggal diam. Jika memang ada Partai Politik dan Capres yang bersedia menjadikan isu kaum buruh sebagai bagian penting yang akan mereka perjuangkan, saya bisa pastikan kaum buruh akan berbondong-bondong mendukungnya.

Sabtu, 22 Maret 2014

Said Iqbal: Buruh Akan Dukung Capres Yang Bersedia Menjalankan Jaminan Pensiun Wajib dan Menaikkan Upah 30 Persen


Presiden FSPMI Said Iqbal
Presiden FSPMI Said Iqbal
Pemilu Legislatif, 9 April 2014, tinggal menunggu hari. Tak berapa lama lagi kita akan segera mengetahui, siapa saja yang berhasil duduk sebagai wakil rakyat. Merekalah yang nantinya memiliki legitimasi untuk berbicara atas nama rakyat. Mewakili kita dalam sebuah pengambilan kebijakan.
Karena itu, demikian Said Iqbal mengatakan, pemilihan legislatif dan Presiden menjadi momentum yang sangat penting bagi buruh Indonesia. Pemilu bukan saja menentukan siapa yang akan terpilih sebagai pemimpin. Pemilu, juga menjadi pertarungan atas berbagai kepentingan. Kepentingan buruh terkait dengan pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden tahun 2014 ini adalah, memastikan 1 Juli 2015, seluruh buruh wajib mendapatkan jaminan pensiun.
Kita tahu, saat ini hanya 0,05 persen buruh yang mempunyai jaminan pensiun. Dengan kata lain, 99,95 persen buruh tidak mempunyai jaminan pensiun. Sehingga mereka tidak mempunyai masa depan setelah bekerja berpuluh – puluh tahun. Situasi ini sangat tidak ideal bagi seorang buruh. Sudahlah bekerja dengan upah yang murah, setelah mereka tidak lagi bekerja, tidak ada jaminan pensiun.
Disamping ingin memastikan pada pertengahan tahun 2015 mendapatkan jaminan pensiun, kita juga ingin calon Presiden yang berorientasi kepada peningkatan daya beli masyarakat termasuk kaum buruh. Melalui kebijakan penetapan upah layak yaitu dengan cara merubah 60 item KHL (kebutuhan hidup layak) menjadi 86 item KHL. Karena dalam 60 item KHL juga tidak masuk akal, misal, mana mungkin buruh dalam satu bulan mengkonsumsi beras hanya 10 kilogram, 5 potong ikan segar, 3/4 kg daging, tidak mempunyai televisi, tidak membeli bedak (untuk buruh perempuan) dll.
Sebagai langkah awal untuk mewujudkan upah layak tersebut maka di tahun 2015 upah minimum harus naik sebesar 30 persen. Agar indonesia dapat mengejar ketertinggalan upah. Dibandingkan negara Thailand dan Fillipina. Padahal, Indonesia sudah masuk dalam kategori negara terkaya nomor 15 di dunia (middle income countrys), sehingga agar masuk menjadi kategori maju, maka upah buruh di Indonesia harus dinaikan secara significant oleh Presiden baru melalui kebijakannya.
Nantinya, dua isu utama tersebut akan disampaikan oleh buruh Indonesia pada saat perayaan “MAY DAY” di seluruh Indonesia. Untuk mendukung Calon Presiden yang pro buruh dan mau mewujudkan isu tersebut.

Membayar Upah Lebih Rendah Dari UMK Adalah Kejahatan


Seorang anggota FSPMI nampak sedang memainkan handphone didepan poster yang bertuliskan 'diam tertindas atau bangkit melawan'.
Seorang anggota FSPMI  (Garda Metal) nampak sedang memainkan handphone didepan poster yang bertuliskan ‘diam tertindas atau bangkit melawan’ yang tertempel di depan pintu gerbang perusahaan.

Setelah perundingan demi perundingan berjalan tanpa kesepakatan, akhirnya mereka melakukan pemogokan. Senin, 10 Maret 2014, tercatat sebagai hari pertama mereka mogok kerja. Seperti sudah kehilangan kesabaran, buruh di perusahaan Roxy itu memilih untuk meninggalkan mesin-mesin produksi. Kerja dan keringat mereka tak dihargai.
Bulan Maret juga sekaligus menandai bulan ketiga pelaksanaan UMK 2014 yang berlaku mulai 1 Januari. Jauh sebelumnya, sejak Desember 2013, serikat pekerja di perusahaan yang berokasi di Kawasan Industri Jatake – Tangerang ini sesungguhnya sudah mengajak Pengusaha untuk merundingkan upah. Tetapi hasilnya tetap saja nihil.
Sempat ada harapan, Pengusaha bersedia membayar upah sesuai dengan ketentuan upah minimum untuk karyawan tetap. Sementara untuk karyawan kontrak, masih berlaku upah lama. Tidak ada kenaikan.  Pernyataan ini disampaikan pihak HRD. Tetapi serikat pekerja menolaknya.
Semua pekerja berhak mendapatkan upah minimum. Tak peduli apa pun statusnya.  Jika Pengusaha bisa seenaknya membayar buruh kontrak dengan upah dibawah upah minimum dan kemudian karyawan tetap mendiamkan, itu artinya satu saat nati Pengusaha juga bisa memberlakukan upah rendah di perusahaan ini. Menyadari hal itu, serikat pekerja melakukan perlawanan. Apalagi, disini, karyawan tetap dan kontrak juga bergabung dengan serikat pekerja. Kekompakan mereka terjaga.
Belakangan ada isu, jika perusahaan ingin melakuan penundaan kenaikan upah dengan melakukan penangguhan seperti yang terjadi di tahun 2013 lalu. Tahun 2013, perusahaan ini memang melakukan penangguhan dengan tetap membayar upah lama selama 3 bulan. Tetapi di tahun 2014 ini, bukan lagi 3 bulan yang diminta. Pengusaha meminta tetap membayar upah lama selama 12 bulan. Tanpa kenaikan sepersen pun.
Alasannya klasik. Oder turun. Disamping itu, menurut Pengusaha, upah Pekerja sudah sangat tinggi. Jika ditotal dengan tunjangan transport, makan, dan kehadiran, totalnya mencapai 2,7 juta. Itu sudah jauh melebihi nominal upah minimum 2014 yang hanya sebesar Rp. 2.442.000,-.
Pekerja tak bergeming. Baginya, upah adalah gaji pokok dan tunjangan yang bersifat tetap. Sementara tunjangan tidak tetap seperti uang transport, makan, dan kehadiran adalah tunjangan tidak tetap. Dan lagi pula, menjadi sebuah keharusan upah buruh yang sudah berkeluarga dan memiliki masa kerja diatas satu tahun besarnya diatas UMK. Sesuatu yang sudah diberikan tak dapat ditarik kembali. Bagaimana mungkin uang transport dan makan yang sudah diberikan selama bertahun-tahun itu akan dihilangkan hanya untuk memenuhi ketentuan normatif? Buruh menolak keras!
Sebelum melayangkan surat  pemberitahuan mogok kerja, pengurus PC SPAI FSPMI Tangerang datang ke perusahaan. Maksudnya ingin meminta kejelasan terkait dengan sikap perusahaan terkait upah. Lagi-lagi, Pengusaha bersikukuh tidak bersedia menaikkan upah.
Tak ada pilihan lain. Surat mogok kerja pun dilayangkan.
Serikat pekerja berhasil menyakinkan seluruh karyawan untuk melakukan pemogokan. Dari jumlah karyawan sekitar 180 orang, seluruhnya ikut mogok kerja. Padahal anggota serikat pekerja yang ada di perusahaan ini tak lebih dari 100 orang. Mereka percaya, mogok bukan semata-mata kepentingan buruh yang menjadi anggota serikat pekerja. Mogok adalah kepentingan seluruh orang yang bekerja.
Dan meskipun dihari pertama mogok kerja terjadi perundingan yang difasilitasi oleh Pengawai Pengawas dan Mediator dari Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang, namun tidak menghasilkan kesepakatan.
Tim perundingan yang mewakili pihak pekerja merasa jika perundingan tak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Padahal masalah upah minimum adalah sesuatu yang tak perlu dirundingkan kembali. Harus dijalankan. Tetapi didalam perundingan ini justru pihak pekerja seperti ditekan untuk mau mengerti keinginan pengusaha yang tak bersedia menaikkan upah. Seolah buruh yang harus mengerti akan kondisi perusahaan. Sedangkan pihak Pengusaha boleh abai terhadap kepentingan karyawan.
Upah minimum bukan untuk dirundingkan. Harus dijalankan. Tegas dinyatakan dalam Undang-undang, barangsiapa yang membayar upah lebih rendah dari upah minimum adalah pelanggaran pidana. Dan itu masuk dalam kategori pidana kejahatan dengan ancaman kurungan hingga 4 tahun penjara. Juga denda antara 100 – 400 juta.
Dan pada akhirnya, ini adalah seruan bagi semua, untuk memperlakukan siapa saja yang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagai penjahat! Bagaimana?

Kriteria Capres Pilihan Buruh

Suasana Debat Publik Calon Presiden RI Konvensi Rakyat. Salah satu media untuk menjaring Capres RI 2014 - 2019.
Suasana Debat Publik Calon Presiden RI Konvensi Rakyat. Salah satu media untuk menjaring Capres RI 2014 – 2019.
Yang ditunggu akhirnya muncul juga. Megawati Soekarnoputri, akhirnya memberi restu kepada Jokowi untuk maju sebagai Capres 2014 dari PDI Perjuangan. Reaksi bermunculan. Ada yang simpatik, memberikan dukungan, tak sedikit juga yang mengkritik. Dan itu sah dalam ruang demokrasi. Didalam ruang ini, perbedaan mendapatkan tempatnya.
Menyikapi pencapresan Jokowi, Pesiden KSPI Said Iqbal memandang itu adalah hal yang biasa. Bukan sekedar biasa, bahkan, setiap orang berhak mencalonkan dan dicalonkan sebagai Presiden. Hal itu juga berlaku untuk Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Wiranto, Rizal Ramli ataupun Rhoma Irama. Setiap orang memiliki hak untuk memberikan dan atau tidak untuk memberikan dukungan terhadap nama-nama yang mencalonkan diri sebagai Capres.  Tentang kemudian siapa yang mendapatkan kepercayaan dari rakyat, waktulah yang  akan menentukan.
Bagi kaum buruh, tentu pencapresan Jokowi menarik. Hampir semua lembaga survey telah memprediksi, Jokowi akan memenangkan pilres tahun 2014 ini. Tetapi, nampaknya hal itu tak membuat Said Iqbal terbawa opini. Pria yang juga menjadi Presiden FSPMI ini menjadi salah satu yang berani melawan arus. Beberapa waktu yang lalu, Iqbal memberikan gelar kepada Jokowi sebagai Bapak Upah Murah Indonesia. Sehingga tak mudah bagi Jokowi untuk mendapatkan dukungan dari kaum buruh Indonesia.
“Bagi Jokowi, beliau harus membuktikan dan meyakinkan buruh bahwa kebijakannya tidak berorientasi pada upah murah seperti kebijakannya tahun lalu yang memutuskan upah murah dan buruh menobatkan Jokowi sebagai bapak upah murah karena berimplikasi daerah lain di Indonesia,” kata Iqbal, beberapa waktu yang lalu.
Seperti apa kriteria Capres yang akan didukung buruh?
Menurut Iqbal, buruh akan mendukung capres yang bersedia menaikkan upah minimum sebesar 30% pada tahun 2015. Dimana kebijakan itu harus diumumkan secara terbuka oleh capres tersebut. Misalnya, menaikkan upah minimum tahun 2015 sebesar 30% dan pada tahun berikutnya, upah minimum Indonesia sama dengan Thailand, Malaysia dan Singapura, seiring dengan produktivitas yang meningkat.
Tentu saja, buruh juga mendukung Capres yang anti korupsi. Termasuk oleh orang dekatnya. Capres idola buruh, adalah Capres yang memperhatikan tuntutan buruh: Jaminan Kesehatan gratis untuk rakyat, Jaminan Pensiun wajib untuk buruh, Hapus seluruh Outsorching, Perumahan buruh dan Transportasi publik murah yang harganya turun 50% dari harga sekarang, Pendidikan gratis hingga perguruan tinggi dan advokasi anggaran, yaitu 0,5% APBN untuk kesejahteraan buruh.
Jika ada Capres yang bersedia menjalankan kebijakan itu, Iqbal memastikan jutaan buruh akan mendukung Capres tersebut. “Pada waktunya nanti, kami akan mengumumkan secara terbuka sosok Capres yang didukung olehh buruh,” ujar Iqbal.

Jumat, 14 Maret 2014

UU Ormas Mulai Memakan Korban


Surya Tjandra
Surya Tjandra
Masyarakat sipil mulai merasakan dampak negatif implementasi UU No. 17 Tahun 2013tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Di lapangan, aparat pemerintah justru menanggapi dan menjalankan aturan UU Ormas secara berlebihan. Yang paling merasakan dampaknya adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan Serikat Pekerja (SP).
Berdasarkan pemantauan Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) selama enam bulan terakhir dampak negatif UU Ormas mulai kelihatan. Sejumlah LSM diancam yang kritis kepada pemerintah daerah setempat diancam dibubarkan, dan ada SP yang tak diperkenankan ikut dalam forum ketenagakerjaan.
Koordinator KKB, Fransisca Fitri, menjelaskan ada LSM dan SP yang diancam dibekukan, bahkan dituduh ilegal. Ancaman itu muncul di Lombok Utara, Bandung Barat, Lombok Tengah, dan Sumatera Utara. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumatera Utara misalnya. Forum ini berbentuk yayasan sehingga tunduk pada UU Yayasan. Tetapi Fitra tak dilayani ketika minta informasi dengan dalih tak terdaftar di Kesbangpol Linmas.
Di Lombok Tengah lain lagi ceritanya. Kesbangpol setempat mengancam membubarkan Konsorsium Lombok Tengah karena tidak punya izin, papan nama, dan kantor. Konsorsium ini dituding ilegal. Padahal selama ini Konsorsium menjadi mitra pemda setempat. “Ketika UU No.17 Tahun 2013 tentang Ormas diterapkan, mereka dianggap ilegal,” jelas Fitri dalam jumpa pers yang digelar KKB di Jakarta, Kamis (13/3).
Lain pula yang dialami salah satu SP di Kabupaten Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam. SP yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) tidak dapat menempati posisi sebagai anggota Lembaga Kerja Sama Tripartit Daerah. Sebab, dianggap tidak mendapat persetujuan dari Kesbangpol Pemda setempat.
Fitri berpendapat peristiwa serupa bakal terus terjadi karena UU Ormas membuka peluang terjadinya hal tersebut. Pasalnya, ketentuan yang tercantum dalam UU Ormas sangat luas sehingga dapat ditafsirkan berbeda-beda oleh aparat di lapangan. Misalnya, ketentuan pendaftaran kepada seluruh ormas ke Kesbangpol tidak disebut secara tegas dalam UU Ormas. Namun praktiknya di lapangan, Kesbangpol di daerah menganggap pendaftaran Ormas itu wajib. Sehingga Ormas yang tidak mendaftar ke Kesbangpol dituduh ilegal dan dapat dibubarkan.
Untuk membenahi masalah tersebut Fitri berharap Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Ormas. KKB sudah mengajukan Judicial Review (JR) terhadap UU Ormas ke MK dan prosesnya masih berjalan. Sekalipun MK membatalkan UU Ormas itu bukan berarti ada kekosongan hukum. Sebab ada peraturan yang lebih tepat untuk mengatur Ormas yaitu UU Yayasan dan Perkumpulan. Untuk Ormas yang tidak berbadan hukum, Fitri menyebut ketentuan yang ada dalam konstitusi sudah cukup menjamin keberadaan Ormas tersebut “Relasi negara dan organisasi masyarakat sipil harus dibangun. Masyarakat sipil jangan dilihat sebagai ancaman,” ucapnya.
Pada kesempatan yang sama Direktur Eksekutif TURC sekaligus salah satu ahli yang dihadirkan KKB dalam persidangan JR UU Ormas di MK, Surya Tjandra, mengatakan dampak yang ditimbulkan dari implementasi UU No.17 Tahun 2013 tentang Ormas sangat serius. Pasalnya, regulasi itu melemahkan masyarakat sipil yang sadar berserikat seperti pekerja, petani dan kaum miskin.
Padahal, Surya melihat kesadaran untuk berserikat itu membutuhkan waktu yang lama sejak bergulirnya reformasi. Sayangnya, pemerintah dan DPR menganggap kesadaran rakyat untuk berserikat itu sebagai ancaman. Oleh karenanya dibutuhkan regulasi yang membatasi, salah satunya UU No.17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Khusus SP, Tjandra mengatakan UU Ormas tidak selaras dengan UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja. Sebab, hak pekerja untuk berserikat dilindungi UU Serikat Pekerja. Bahkan, ada ancaman pidana bagi pihak yang menghalang-halangi pekerja untuk membentuk SP. Adanya pengekangan terhadap SP itu mengingatkan Tjandra pada kebijakan masa pemerintahan Orde Baru. Dimana SP dikendalikan secara ketat oleh pemerintah.
Menurut Tjandra, proses pembentukan SP sebagamana UU SP sangat mudah dan tidak perlu melapor ke Kesbangpol. Mengacu UU SP, pembentukan SP hanya membutuhkan 10 orang pekerja di sebuah perusahaan dan memberitahukan AD/ART SP ke Sudinakertrans setempat. Setelah mendapat surat bukti pencatatan maka SP yang bersangkutan dinyatakan sah. “ Tapi dengan hadirnya UU Ormas, itu muncul lagi untuk mendaftar ke Kesbangpol. Itu pada masa Orde Baru memang begitu,” paparnya.
Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, menilai UU Ormas yang baru diterbitkan tak bedanya seperti UU Ormas sebelumnya yang diterbitkan pada masa pemerintahan Orde Baru. Sebab kedua regulasi itu dinilai punya tujuan yang sama yaitu pengendalian oleh pemerintah terhadap organisasi masyarakat sipil. Bahkan yang menginisiasi terbitnya UU Ormas masih sama seperti dulu yaitu Kemendagri. Sejak regulasi itu berbentuk RUU, Poengky mengatakan Koalisi sudah menolak untuk diterbitkan. Sebab isinya dianggap tidak selaras dengan HAM. “Kami maunya UU Ormas lama dicabut dan tidak usah dibikin UU Ormas baru. Pemerintah hanya cukup bahas RUU Perkumpulan,” papar Poengky.
Mengingat UU Ormas telah diberlakukan, KKB mengajukan judicial review ke MK. Selain itu Poengky mengatakan koalisi bakal mengkampanyekan kepada seluruh masyarakat untuk tidak memilih anggota DPR yang mengesahkan UU Ormas.

Kamis, 13 Maret 2014

LOMBA MENULIS: Saatnya Perempuan Bicara!


Seminar Perempuan FSPMI 4Tak perlu dipungkiri, hari Kartini menjadi symbol kebangkitan perempuan Indonesia. Perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di Europese Lagere School (ELS) hingga usia 12 tahun ini, menulis surat kepada teman-teman korespondensinya yang berasal dari Belanda, diantaranya adalah Rosa Abendanon yang kemudian banyak mendukungnya melalui buku-buku, koran dan majalah Eropa.
Surat-surat Kartini sebagai hasil korespondennya dengan beberapa rekan sahabatnya di Eropa kemudian dijadikan sebuah buku yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Didalam suratnya itu, Kartini sangat tertarik pada kemajuan berpikir perempuan-perempuan di Eropa. Ia ingin memajukan perempuan pribumi yang pada saat itu berada pada status sosial rendah.
Berdasarkan pengalaman Kartini itulah, dalam rangka memperingati hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April 2014, Departemen Perempuan FSPMI bermaksud menyelenggarakan lomba menulis untuk anggota perempuan FSPMI. Adapun ketentuan untuk mengikuti lomba menulis adalah sebagai berikut:
  1. Menjadi anggota FSPMI.
  2. Tulisan harus berupa kisah nyata buruh perempuan (baik di tempat kerja, di serikat pekerja dan di rumah tangga). Bisa berupa pengalaman pribadi atau orang-orang terdekat. Tulisan bisa berbentuk curah pendapat, surat terbuka, artikel, dan sebagainya.
  3. Panjang tulisan adalah 2 – 5 halaman A4 dengan jenis hurub Times New Roman dengan ukuran 12.
  4. Tulisan dikirimkan ke alamat e-mail berikut: infokomburuh@gmail.com dan di CC ke: atundoank79@gmail.com, hanipahdiono@gmail.com dan kahar.mis@gmail.com dengan subjek email: PEREMPUAN BICARA.
  5. Setiap penulis wajib mengirimkan foto close up dan biodata lengkap, seperti nama, tempat kerja, dan nomor handphone.
  6. Setiap 1 orang penulis maksimal boleh mengirimkan 2 (dua) buah tulisan.
  7. Lomba menulis ini dibuka pada tanggal 14 Maret 2014 dan ditutup pada tanggal 15 April 2014. Nama-nama pemenang akan diumumkan pada tanggal 21 April 2014.
  8.  Seluruh naskah yang masuk menjadi hak milik FSPMI. Dan bagi naskah yang dianggap layak akan diterbitkan di Koran Perdjoeangan, Website FSPMI dan akan dibukukan.
  9. Setiap penulis yang mengirimkan tulisan akan mendapatkan souvenir. Sedangkan tiga tulisan terbaik mendapatkan Piagam Penghargaan dan hadiah menarik dari dari Departemen Perempuan FSPMI.
  10. Bertindak selaku dewan juri dalam lomba menulis ini adalah Tim Media FSPMI dan Departemen Perempuan FSPMI.
Mari berpartisipasi. Saatnya perempuan bicara!

Dompet Karyawan Toyota Semakin Tebal

Posted by
Ilustrasi Investasi ( image : prudentiallocations)
Ilustrasi Investasi ( image : prudentiallocations)
Toyota Motor Corporation (TMC) sepakat akan menaikkan gaji pekerja mereka di Jepang mulai April 2014. Kenaikkan bayaran ini merupakan yang terbesar dalam 21 tahun terakhir, sebagai bagian dari sokongan kebijakkan pemerintah untuk menaikkan daya beli masyarakat sekaligus menaikkan kesejahteraan karyawan.
Penghasilan para pekerja rata-rata dinaikkan 2.700 yen (Rp 300.200) atau sekitar 0,8 persen dari gaji bulanan. Kenaikkan ini juga yang pertama kalinya dalam enam tahun terakhir, tetapi masih di bawah tuntutan serikat pekerja, yakni 4.000 yen (Rp 444.700).
Toyota termasuk dalam beberapa perusahaan besar di Jepang yang mendapat desakan dari Perdana Menteri Shinzo Abe untuk membantu mendorong perekonomian negara karena selalu mencatatkan deflasi dalam dua dekade terakhir. Salah satunya, menaikkan belanja rumah tangga karyawan dengan menaikkan gaji mereka.
Menopang Ekonomi
“Ada peran dari para pekerja dan manajemen (Toyota) untuk ikut menopang ekonomi negara keluar dari deflasi dan mencapai siklus. Dalam benak setiap tahun negosiasi, tahun ini terasa lebih penting dari biasanya,” jelas Senior Managing Officer Toyota Naoki Miyazaki dilansir Reuters (11/3/2014).
Kesepakatan menaikkan gaji karyawan tidak terlepas dari kinerja perusahaan yang mendulang keuntungan tahun lalu. Pelemahan nilai tukar yen membuat Toyota mengantungi keuntungan besar dari ekspor setiap kendaraan ke luar Jepang.
Selain kenaikan gaji bulanan, juga disiapkan bonus tambahan untuk pekerja senior senilai 7.300 yen. Termasuk rata-rata total bonus tahunan yang mencapai 2,44 juta yen, membuat kenaikan kompensasi yang dialami karyawan setahun sekitar 7,6 persen, dibandingkan tahun sebelumnya.
Nissan
Nissan Motor Company, produsen otomotif terbesar kedua di Jepang juga memastikan akan menaikkan gaji bulanan pekerjanya 3.500 yen lebih besar. Juga ada bonus tahunan yang setara dengan 5,6 bulan gaji, sesuai tuntutan serikat pekerja mereka.
Tapi, Daihatsu Motor Company, anak usaha Grup Toyota, lebih memilih kenaikkan yang relatif lebih rendah, hanya 800 yen. Dengan alasan, ketatnya persaingan di pasar Jepang dan perlambatan pertumbuhan di Indonesia.
Yasunobu Aihara, Presiden Serikat Pekerja Industri Otomotif Jepang (CJAWU) mengatakan, komitmen kenaikan ini menjadi langkah signifikan untuk menopang ekonomi negara dari deflasi. “Kami berharap ini akan merata di seluruh industri otomotif Jepang, termasuk perusahaan kecil, menangah, dan pekerja honorer,” beber Aihara.

Selasa, 11 Maret 2014

BURUH GO POLITICS: Dari Pabrik ke Publik


Go Politik 7
Oleh: Said Iqbal (Presiden FSPMI )
Kini slogan ‘buruh go politics’ sudah tak asing lagi. Semakin banyak orang yang mengucapkan setiap kali ada calon legislatif dari kalangan pekerja/buruh yang sedang melakukan sosialisasi. Dan harus diakui, kalimat itu menjadi daya tarik. Menarik. Karena buruh sudah membuktikan, bahwa mereka bekerja bukan semata-mata untuk dirinya. Tetapi juga untuk kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Jaminan kesehatan adalah buktinya. Berkat perjuangan kaum buruh lah, seluruh rakyat Indonesia memiliki kesempatan untuk mendapatkan jaminan kesehatan. Seumur hidup. Seluruh penyakit.
Itu bukan satu-satuya capaian yang didapat. Dalam dua tahun terakir, kita juga berhasil memperjuangkan kenaikkan upah secara signifikan. Berhasil memaksa pemerintah mengeluarkan peraturan yang secara tegas melarang penggunaan buruh outsourcing dibagian inti perusahaan. Dan ini yang mengagumkan: mulai 1 Juli 2015 nanti, seluruh buruh formal wajib mendapatkan jaminan pensiun. Tak ada beda dengan yang didapatkan PNS, TNI/POLRI saat ini.
Tentu saja, perjuangan kita tak berhenti sampai disini. Sudah kita tegaskan berkali-kali, kaum buruh menuntut kenaikan upah tahun 2015 serendah-rendahnya 30%. Tak hanya soal upah, kita juga ingin memastikan jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat berjalan. Tidak boleh ada rakyat yang ditolak ketika di Rumah Sakit dan selanjutnya menuntut agar buruh tidak perlu lagi membayar iuran jaminan kesehatan.
Satu hal yang tak akan pernah kita lupakan, yaitu tentang kekerasan terhadap buruh. Hingga kapanpun kita akan bersuara keras: HENTIKAN KEKERASAN TERHADAP BURUH!
Lalu apa pentingnya go politics bagi kaum buruh? Sangat penting! Lebih dari penting, go politics adalah sebuah keharusan. Kader buruh yang duduk di lembaga legislatif inilah yang kelak kita harapkan mampu mengawal target-target perjuangan kita. Percaya mereka bisa. Karena integritas dan kesetiaan mereka terhadap perjuangan kaum buruh sudah teruji bertahun-tahun lamanya.
Itulah sebabnya, FSPMI kembali meminta kepada seluruh anggota untuk memenangkan calon legislatif yang sudah direkomendasikan oleh organisasi. Yakinlah pada satu hal, bahwa nasib buruh harus ditentukan oleh buruh itu sendiri. Maka memilih caleg kader buruh yang sudah direkomendasikan oleh organisasi adalah sebuah keharusan yang tak bisa ditawar. Sekali lagi, integritas mereka sudah diuji oleh organisasi.
Diluar nama-nama yang sudah direkomendasikan, tidak ada kewajiban bagi anggota untuk memilihnya.
Go politics tidak semata-mata menempatkan orang dalam lembaga legislatif. Ia adalah bagian dari strategi perjuangan. Jika sebelumnya kita mengenal 3 (tiga) strategi perjuangan: Konsep – Loby – Aksi. Maka Go Politics adalah strategi kita yang keempat. Dan jika ini berhasil, tak menuntup kemungkinan di daerah-daerah padat industri kita juga akan mendorong kader terbaik FSPMI menjadi Bupati. Dan jika ruang-ruang pengambil kebijakan sudah dikuasai, maka cita-cita kesejahteraan menjadi semakin dekat lagi!