Diskusi Kerakyatan yang diselenggarakan Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh (21 Maret 2014)
Coba Anda lihat. Investasi masuk ke
Indonesia dengan beragam kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah.
Dalam bahasa saya, ada “karpet merah” yang digelar untuk mereka yang
datang. Karpet merah yang saya maksud adalah, buruh outsourcing (Flexible Labour Market), menggunakan jam kerja panjang (Flexible Working Hour), meminta kebijakan upah murah (Low Wages Policy), dan menekankan kontrak kerja individu tanpa hak berserikat (Individual Contract).
Itulah sebabnya, buruh menggugat kebijakan Pemerintah yang menjadikan
buruh sebagai komoditas dalam industri. Yang menjual buruh dengan upah
murah, jam kerja yang panjang dan ditambah lagi dengan kontrak individu
yang melemahkan posisi tawar buruh itu sendiri.
Gutatan Pertama: Pasar Kerja yang Fleksibel
Tentang outsourcing, misalnya.
Sering saya ditanya oleh Pengusaha, baik didalam maupun diluar negeri.
Mengapa Anda menolak
labour market flexibility? Di negara-negara lain juga menerapkan pasar kerja yang fleksibel. Lalu apa masalahnya dengan Indonesia?
Saya jawab, masalahnya adalah, mereka hanya berhenti pada pasar kerja
yang fleksibel. Mereka tak pernah mengatakan, di Negara lain seperti
Amerika, Eropa dan Jepang, meskipun ada
fleksibel labour market diterapkan, akan tetapi ada dua syarat yang sudah dipenuhi oleh mereka.
Syarat pertama, upahnya layak. Saya rasa, kalau upah kita layak dan
dijamin oleh Negara sepanjang Republik ini masih ada, maka status
hubugan kerja sudah tidak menjadi penting lagi. Tentu yang saya maksud
upah layak bukan layaknya Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam KHL.
Batasan layak yang saya maksud adalah, orang benar-benar bisa menabung
dari upah yang mereka terima itu.
Yang kedua, ada jaminan sosial. Di beberapa Negara mengenal jaminan
pengangguran. Dan ini harus ada, ketika fleksibel labour market mau
diterapkan. Kalau orang nganggur saja dibayar, maka status hubungan
kerja sudah menjadi tidak relevan lagi.
Sayangnya, di Indonesia dan Negara-negara berkembang, fleksibel
labour market itu tidak memenuhi dua syarat ini. Malahan labour market
flexibility digunakan untuk menghindari upah layak dan jaminan sosial.
Dengan kata lain, outsourcing, pada saat yang bersamaan juga berarti
upah murah dan bekerja tanpa mendapatkan jaminan sosial yang memadai.
Saya ingin mengatatakan, Flexible Labour Market adalah karpet merah pertama.Digelar untuk menyambut investasi yang datang ke negeri ini.
Gugatan Kedua: Jam Kerja yang Panjang
Selanjutnya, mereka meminta jam kerja yang panjang. Saya mencontohkan Batam. Disana lembur adalah idaman kaum buruh.
Kalau buruh-buruh di German sekarang ini sedang berjuang untuk
mengurangi jam kerja 35 jam per Minggu menjadi 30 jam per minggu, maka
berlaku sebaliknya disini. Ya, di German serikat buruhnya berjuang agar
jam kerja menjadi 30 jam per Minggu, sudah begitu minta agar upahnya
dinaikkan menjadi 2 kali kipat.
Sudah jam kerja
diturunin, mereka tidak mau lembur.
Saya kira itu sangat tepat. Kalau di Indonesia, bekerja hingga 12 jam
dengan lembur, tapi tetap miskin. Lalu seolah-olah kalau Pengusaha
sudah memberikan lembur, ia berbaik hati kepada buruh-buruhnya.
“Ini saya kasih tambahan?” Begini kira-kira Pengusaha itu berkata
kepada buruh-buruhnya saat memberikan lembur. Buruh lupa, nilai lembur
yang diberikan itu tidak sebanding dengan kerja yang dikeluarkan kaum
buruh itu sendiri.
Itu yang kita gugat.
Bukan investasinya yang kita gugat. Bukan pengusahanya yang kita
gugat. Kita tidak anti investasi, tetapi kalau kemudian investasi masuk
dan kita tetap menjadi miskin, maka buruh akan teriak! Karena itu,
sistemnya yang kita gugat:
upah murah, jam kerja yang panjang.
Anda tahu, ratusan orang mati di Chicago yang kemudian dikenal dengan
May Day. Saat out buruh menuntut: 8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam
bersosialisasi. Nyawa dikorbankan untuk memperjuangkan jam kerja, tahun
1800-an. Dan sadarkan Anda, hari ini perilaku itu diulang kembali. Buruh
dipaksa dengan jam kerja yang panjang. Ironisnya, buruhnya bersenang
hati.
Coba tanya buruh-buruh itu, kalau ada lemburan senang sekali.
Dia lupa. Dia sedang menanam penyakitnya sendiri. Nanti kalau sudah
tua, sakit-sakitan, dan begitu sakit – karena upahnya rendah dan pergi
ke dokter tidak mampu – yang tadinya bisa
nyicil motor waktu kerja, pas sudah selesai kerja motor yang dicicilnya itu dijual kembali.
Inilah yang dibilang lingkaran kemiskikan.
Lalu apa bedanya dengan binatang? Begitu pagi pertebaran mencari
makan, lantas ketika malam menjelang kembali pulang ke kandang. Hidup
hanya untuk sekedar cukup makan. Kita mau seperti binatang itu?
Bagi saya, ini tentang rasa keadilan.
Bukan karena buruh-buruh itu mendapatkan pekerjaan lantas mereka
harus menunduk dan mengucap terima kasih. Bukan itu. Sering saya
mengatakan, kalau ada orang miskin karena tidak bekerja, kita bisa
terima. Karena dia tidak punya pekerjaan. Tidak mempunyai penghasilan,
maka Negara harus membantu dalam bentuk raskin, jaminan kesehatan ketika
sakit, dan sebagainya. Tetapi yang terjadi sekarang, buruh bekerja
selama 30 hingga 40 tahun, akan tetapi masih tetap miskin. Saya kira ini
bukan retorika. Ini adalah fakta.
Saya sendiri masih bekerja. Sehingga saya tahu betul seperti apa kemiskinan yang dialami oleh kaum buruh.
Kalaupun buruh bisa membeli motor, pasti itu dibeli dengan sistem kredit.
Ada yang mempertanyakan, “buruh sudah punya motor ninja bung Iqbal?”
Tahukah Anda, dia bisa memiliki motor ninja berapa jam dia kerja dalam
sehari? Sehari dia bekerja hingga 12 jam. Sementara itu, dirumah
istrinya jualan voucher.
Anda bisa bandingkan, orang-orang kaya itu kerja hanya 2 jam tetapi
kaya raya, ini buruh kerja 12 jam ditambah istrinya di rumah jualan,
baru bisa beli motor ninja. Itu pun kredit. Kalau saya, sebagai pemimpin
buruh berpendapat, jangankan beli motor ninja. Buruh harus bisa membeli
mobil dan memiliki rumah yang layak.
Apa yang salah kalau buruh kemudian bisa hidup layak. Apakah buruh
selamanya harus hidup pas-pasan, tinggal dikontrakan sempit yang
berhimpit itu.
Baru beli motor ninja sata dipertanyakan? Sementara kamu tidak pernah
menanyakan, pengusaha itu kaya dari mana? Uang siapa yang dipakai dari
bank-bank yang dia pinjam. Dimana logikanya!
Seolah-olah buruh yang mempunyai kehidupan lebih baik karena
pendapatannya sedikit besar, itu pun harus berkorban dengan jam kerja
yang panjang, tidak boleh.
Saya rasa, saya masih belum pada titik anti kapitalisme. Saya masih
setuju dengan adanya investasi itu. Yang kita tidak setuju, datangnya
investasi membuat kita menjadi tetap miskin.
Apa ukuran tidak miskin? Sederhan. Buruh bisa menabung dari upah yang
mereka terima. Nah, sekarang, jangankan menabung. Kami ini upah minimum
dengan ukuran 10 Kg beras, 5 potong ikan segar, dan 0,75 Kg daging
dalam satu bulan. Ukuran itu tidak masuk akal. Tetapi dipaksa untuk
diterima.
Dan lagi-lagi saya harus mengatakan, kita akan melawan. Menolak dan menggugat kebijakan itu.
Kemudian orang menilai, sikap kita ini membuat kita terlihat garang. Keligatan seolah-olah tidak mau kompromi.
Habis tidak ada pilihan. Sebelum kita turun ke jalan,
kan kita
sudah membuka ruang untuk berdiskusi. Sederhana saja saya memandang.
Kalau benar diskusi adalah untuk solusi, mengapa kebijakan yang
berorientasi kepada kesejahteraan buruh tidak dijalankan sejak 20 tahun
yang lalu.
Tidak harus menunggu buruh turun ke jalan, bukan?
Kalau pemerintah ini benar-benar cinta kepada rakyat, sejak 20 tahun
yang lalu seharusnya kebijakan pro buruh sudah dijalankan. Apalagi kita
tahu, investasi saat jaman Soeharto sangat luar biasa besarnya. Bahkan
diperkirakan, kalau Soeharto tidak jatih dan ekonomi Indonesia terus
tumbuh, kita bisa menyamai Korea Selatan.
Kemudian mengatakan, buruh tidak ramah terhadap inveastasi.
Saya rasa, ini adalah kalimat mereka yang paling hebat:
tidak ramah investasi.
Padahal mereka keliru. Investasi yang tidak ramah terhadap buruh!
Sekali lagi saya ingin tegaskan, kita tidak anti investasi. Kita
setuju perusahaan untung. Tetapi kita inginkan investasi yang tidak
menyebabkan kedaulatan bangsa ini tergadai. Kita inginkan investasi yang
diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan.
Gugatan Ketiga: Individual Kontrak
Situasi diatas, semakin diperparah lagi dengan adanya individual
kontrak. Sistem industri diciptakan antara buruh 1 orang (sebagai
individu) dengan pemilik modal. Ya jelas, dalam relasi ini buruh kalah
telah. Dia tidak punya kekuatan tawar.
Coba tanya adik-adik kita yang baru lulus SMA itu. “Apakah kamu mau kerja?”
Dia akan bilang, “Mau.”
“Tapi gajinya hanya 1 juta, ya?”
“Nggak apa-apa dech. Yang penting saya bisa kerja,” sebagian besar
mereka akan menjawab ini. Padahal upah minimum di Jakarta besarnya 2,4
juta. Tetapi dia mau hanya dibayar 1 juta.
Ada yang mengatakan, mereka tidak keberatan
kok dibayar hanya
setengah UMP. Saya katakan, jangan setengah dari UMP, dikasih 500 pun
buruh-buruh itu mau. Buruh itu tinggal dikasih berapa, dia akan mau.
Yang penting bagi mereka bisa bertahan hidup.
Kalau begitu pertanyannya, lalu apa gunanaya inveasti buat kami?
Apakah kapitalisasi itu harus selalu diartikan dengan mengeksploitasi
kaum buruh?
Individual kontrak ini mereduksi peran serikat buruh. Sebagai
individu, buruh tak kuasa menolak. Itulah sebabnya, KNGB ini kita
harapkan lahir untuk antitesis itu. Menjadikan individual itu menjadi
kolektivitas.
Gugatan Keempat: Upah Murah
Yang keempat, soal upah murah.
Upah buruh Indonesia lebih rendah dari Thailand, Filipina, juga Singapura.
Apa sih hebatnya mereka? Soal produktivitas? Saya sangat percaya,
Toyota Filipina dengan Indonesia jauh lebih baik Toyota kita. Saya mau
head to head.
Tetapi kalau dari seluruhnya, jelas kita kalah. Karena rakyat kita
jumlahnya jauh lebih banyak. Ditambah lagi, kenapa produktivitas kita
rendah (secara total), karena banyak penduduk Indonesia yang tidak
bekerja. Apalagi dari yang bekerja, 54% nya lulusan SD.
Kalau mau membandingkannya head to head. Jadi adil.
Lalu timbul pertanyaan, kalau begitu tidak bisa sama rata sama rasa. Setuju. Kalau mau membandingkan:
labour intensive dengan
labour intensive,
capital intensive dengan
capital intensive.
Saya pernah membaca sebuah rillis yang mengatakan, 6,3 % pertumnuhan
ekonomi tahun 2012, 67 persennya disumbangkan dari produktivas buruh.
Itu artinya membantah pernyataan bahwa produktivitas buruh Indonesia
rendah.
Ini pandangan saya. Tapi saya nggak tahu seperti apa pandangan ahli.
Upah kita saja masih rendah. Apa yang mau dikejar denan upah yang
rendah ini? Belum lagi jaminan kesehatannya tidak memadai. Hanya 0,05
persen buruh yang punya jaminan pensiun. Dengan kata lain, 99,95 persen
buruh tidak punya jaminan pensiun.
Semua ini fakta. Gugatan kita selanjutnya, kita kerja buat apa?
Capek-capek kita kerja, dari matahari belum terbit hingga matahari
telah terbenam, upah tetap rendah dan setelah tidak lagi bekerja tak
memiliki jaminan pensiun.