Tidak semua kesejahteraan guru di Surabaya terjamin, bahkan meningkat seiring keberadaan tunjangan profesi pendidik (TPP).
Buktinya masih banyak gaji guru, terutama guru tidak tetap (GTT),
yang penghasilannya jauh di bawah upah minimum kabupaten/kota (UMK).
Kondisi ini bisa menurunkan kualitas kinerja. Latar belakang pendidikan
mereka sarjana strata 1 (S-1), tapi nominal gaji mereka kalah dengan
buruh pabrik yang tamatan SMA dan SMP.
Kenyataan ini tidak sesuai dengan Perda Surabaya Nomor 16/2012
tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Payung hukum yang disepakati
eksekutif dan legislatif ini mengamanatkan gaji GTT minimal sesuai
dengan UMK. Faktanya, gaji mereka yang ikut andil mencerdaskan generasi
bangsa dibayar murah.
Fatih Rahmad, guru Pendidikan Agama Islam (PAI); Dimas Anggara, guru
olahraga; dan Moch Saifudin, guru PAI dan Pramuka, yang sekarang
ditempatkan di tata usaha adalah tiga dari sekian banyak GTT di Kota
Pahlawan gajinya belum sesuai dengan UMK. Ketiganya selama ini bekerja
di SDN Kalirungkut I/264 Surabaya.
“Saya menjadi GTT sejak tahun 2011, Dimas Anggara sejak 2011, dan
Moch Saifudin sejak 2009,” tutur Fatih Rahmad, kemarin. Fatih yang
tinggal di Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Rungkut, ini setiap bulan
menerima gaji Rp1 juta. Sementara UMK Surabaya tahun 2015 Rp2.710.000.
“Hingga 2013, gaji yang saya terima Rp500.000. Mulai sekitar Maret 2014,
gaji bulanan naik menjadi Rp1 juta. Meski naik 100%, namun tetap jauh
di bawah nilai UMK,” kata Fatih.
Alumni Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (sekarang
Universitas Islam Negeri Surabaya) ini mengaku bingung atas rendahnya
UMK yang diterima melalui sekolah.
“Padahal saat kepala sekolah masih dijabat orang lama, Pak Ishak,
membuat usulan kenaikan gaji saya, Saifudin dan Dimas pada Januari 2014.
Bahkan usulan itu sudah direspons Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya.
Dinas mengeluarkan SK bahwa gaji saya dan dua teman lainnya di SDN
Kalirungkut I adalah Rp2,2 juta. SK yang ditandatangani Bu Eko (Eko
Prasetyoningsih, Kabid Dikdas) sempat saya lihat,” ujarnya.
Perbedaan nominal gaji yang menjadi haknya sebagaimana dituangkan
pada SK dengan kenyataan yang diterima, Fatih mengaku bingung. “Ini
kesalahannya ada pada siapa,” ujarnya bingung. Dia mengaku dalam
seminggu sudah mengajar lebih dari 24 jam, bahkan lebih.
Kewajiban sebagai guru dilaksanakan, termasuk tetap mengantor selama
enam hari kendati target jam mengajar 24 jam per minggu sudah dipenuhi
dalam waktu tiga hari. Ketua Komunitas Muda Bibit Unggul Surabaya Achmad
Hidayat prihatin atas rendahnya gaji GTT.
“Mereka itu sarjana, kok gajinya jauh di bawah buruh. Buruh saja yang
tidak sarjana bisa terima sesuai dengan UMK,” kata Achmad yang
melakukan pendampingan terhadap Fatih dan kawan-kawannya.
Achmad meyakini hal serupa banyak dialami GTT di sekolah lain. Karena
itu, pihaknya menerima keluhan jika ada GTT lain bernasib sama.
Pihaknya tidak segan melaporkan oknum yang “menyunat” hak gaji GTT jika
diketahui ada pelanggaran hak. “Jangankan GTT, tukang kebun sekolah saja
harus sesuai dengan UMK,” kata pemuda bertubuh subur ini.
Kepala SDN Kalirungkut I/- 264 Siti Fatonah mengaku tidak tahu soal
kebijakan yang mendasari besaran gaji tiga GTT itu. “Itu kebijakan
kepala sekolah. Saya masuk ke SDN Kalirungkut I ini sejak SDN
Kalirungkut I, II, dan III, dimerger menjadi Kalirungkut I pada Maret
2014.
SK sebagai Kepala SDN Kalirungkut I per Februari 2014,” kata Siti
yang sebelumnya di SDN Ketintang, Kecamatan Wonokromo. Perempuan
berjilbab ini bahkan mengaku sejak dirinya masuk sebagai Kepala SDN
Kalirungkut I, dia menerapkan kebijakan baru, yakni menambah nominal GTT
di sekolahnya. Namun, Siti tidak merinci nominal itu. “Sebelumnya, saya
ikuti aturan saat kepala sekolah lama, dan setelah saya masuk justru
ditambah,” kata Siti.
Siti menyebutkan, Fatih dalam sehari sudah mengajar selama delapan
jam. Selain itu. dalam seminggu bisa mengajar 24 jam dan bahkan lebih.
Hanya Siti tidak setuju jika kewajiban mengajar itu dimampatkan menjadi
tiga hari atau kurang dari enam hari.
Siti ingin Fatih dan kawan-kawan tetap ke sekolah setiap hari, yakni
per hari selama delapan jam. Jika kewajiban mengajar sudah tercapai,
Siti ingin GTT itu bisa melakukan pengayaan diri, berbagai dengan guru
senior, dan bahkan membuat materi ujian di sekolah. Siti juga sempat
mengusulkan supaya Fatih dan lainnya pindah ke sekolah lain yang
kekurangan guru. “Sudah saya usulkan ke SDN Banyu Urip, tapi yang
bersangkutan tidak mau,” kata Siti.
Disinggung kembali soal nominal gaji, lagi-lagi Siti tidak menyebut
pasti. “Akan saya cek dulu. Mohon kalau ada informasi dikoordinasikan
dan dikondisikan ke dalam dulu,” katanya. Ditemui di ruang kerjanya,
Siti juga menyebutkan sekolahnya kelebihan guru. Ini juga menjadi dasar
saran agar Fatih dan kawan-kawan pindah.
“Semoga ke depan gaji bisa sesuai dengan UMK karena sudah kami
usulkan melalui perangkaan anggaran ke dinas,” kata Siti. Terkait
jawaban Siti, Fatih membantah keras bahwa SDN Kalirungkut I kelebihan
guru. Faktanya, GTT dalam seminggu bisa mengajar lebih dari delapan jam.