Jaksa Mogok Sidang
Sejumlah jaksa berencana menggelar aksi mogok hari tanpa sidang
pada 11 September mendatang agar kesejahteraan mereka diperhatikan.
Seruan mogok sidang ini sudah mulai marak dalam beberapa hari
belakangan ini di media sosial. Salah satunya adalah melalui akun
facebook Marice Butarbutar. “Deklarasi..!!! Kami jaksa Indonesia dengan
ini menyatakan keinginan kenaikan tunjangan jaksa, hal-hal mengenai
besaran tunjangan jaksa diselenggarakan dengan cara seksama dalam tempo
yang sesingkat-singkatnya (-PG),” demikian bunyi status akun facebook
tersebut.
Akun tersebut merinci penghasilan jaksa golongan 3c sebesar Rp 6 juta
(sudah termasuk gaji, tunjangan, uang makan dan renumerasi).
“Pengeluaran angsuran bank Rp3 juta, susu anak dan pampers Rp3 juta,
bayar listrik dan air Rp300 ribu, belum untuk makan tiap bulan. Tragis
sekali nasib jaksa, tapi Tuhan mengajarkan pantang menyerah. Harapan
kita presiden akan meningkatkan tunjangan sama seperti hakim (-SM),”
sebut akun tersebut lagi.
Seorang jaksa yang bertugas di pulau Sumatera mengamini bahwa memang
ada gerakan untuk mogok sidang tersebut. “Jaksa-jaksa ikutin hakim.
Waktu itu hakim memang demo untuk minta kenaikan gaji,” ujar wanita yang
tak mau disebutkan namanya itu kepada hukumonline, Senin (8/9).
Sumber hukumonline ini mengatakan bahwa akhir masa jabatan Jaksa
Agung Basrief Arief dijadikan momentum untuk menuntut kesejahteraan.
“Nah, presiden kan baru ganti. Jadi jaksa agung diganti. Ini momen
karena mau penutupan,” ujarnya
Lebih lanjut, ia mengatakan biasanya di penutupan masa jabatan jaksa
agung memang kerap ada kenaikan gaji. Nah, momentum inilah yang
dijadikan sebagai wacana yang digulirkan sejak lama untuk kenaikan gaji.
“Mungkin mereka (jaksa yang hendak mogok) ingin memanfaatkan momen jadi
ingin demo, pada tanggal 11,” tuturnya.
Ia mengaku sudah memperoleh informasi ini melalui mailing list
(milist) para jaksa-jaksa, sehingga ditelurkanlah wacana hari tanpa
sidang. “Jadi, mereka benar-benar minta tolong agar jaksa-jaksa di
Jakarta untuk turun (demonstrasi,-red),” ujarnya.
Namun, lanjutnya, jaksa agung akhirnya mengeluarkan surat perintah
mengimbau agar aksi tersebut tidak dilakukan. “Nah, surat perintah
sampai ke Kejaksaan (di daerah,-red), kejaksaan gue juga sampai, bahwa
untuk tanggal 11 diimbau untuk tidak turun,” ujarnya.
Ia mengatakan sebagian jaksa menilai karena surat itu bersifat
imbauan sehingga terserah mau dituruti atau tidak. “Kalau kejaksaan kan
komando, jadi kita harus ikutin, cuma memang tidak melarang. Mereka
mengeluarkan himbauan untuk Kejati dan Kejari supaya anak buahnya
dimohon untuk tidak turun,” ujarnya.
“Soalnya, kalau turun bakalan merusak citra kejaksaan itu sendiri,” tambahnya.
Meski begitu, ia mengungkapkan banyak jaksa yang protes dengan
himbauan itu. Ia menuturkan bahwa jaksa itu ada yang struktural, dan ada
yang fungsional. Jaksa fungsional itu hanya sebagai jaksa penuntut umum
(JPU), tidak naik menjadi kepala seksi atau Kepala Kejaksaan Negeri
atau Kepala Kejaksaan Tinggi. “Nah, gajinya fungsional dengan gajinya
struktural jelas beda dong. Lebih tinggi yang struktural,” ujarnya.
“Kenapa gaji jaksa itu rendah karena dia menyamakan dengan gaji jaksa
stuktural. Banyak juga yang menolak, karena kalau gaji jaksanya gede,
mereka semua mau jadi jaksa fungsional. Nggak ada yang mau jadi
struktural. Imbasnya, kalau stuktural dia bersedia ditempatkan dimana
saja,” jelasnya.
Meski begitu, sumber ini menilai bahwa aksi ini sulit terealisasi.
Dirinya sendiri pun enggan ikut dalam aksi tersebut. “Karena gue nggak
di Jakarta,” sebutnya.
Ia mengatakan sekali Kejagung yang mengumumkan, apalagi sekretaris
jaksa agung muda intelejen juga ikut turun tangan, maka jaksa-jaksa lain
biasanya mematuhi. “Misalnya, kalau ada yang ketahuan itu akan
dilaporkan ke atasan segala macam,” ujarnya.
“Nggak ada yang berani ambil resiko,” tuturnya.
Dihubungi terpisah, Kapuspenkum Kejagung Tony T Spontana mengaku
sudah mendengar mengenai aksi sehari tanpa sidang ini. “Saya bisa
pastikan itu bukan sikap institusi. Itu hanya sikap jaksa orang
perorangan yang kemudian menjadi satu kelompok yang menyuarakan aspirasi
yang sama,” jelasnya melalui sambungan telepon.
Oleh karena bukan kehendak institusi, lanjutnya, maka pimpinan
kejaksaan tidak menyarankan mogok itu dilakukan. Ia mengatakan bahwa
untuk menyalurkan aspirasi ada saluran yang lebih baik ketimbang
dilakukan dengan cara mogok kerja.
“Walaupun itu dilakukan dengan damai, walaupun ‘tetangga sebelah’
(hakim, red) istilahnya dulu melakukan seperti itu dan berhasil, tetap
institusi menyarankan untuk tidak dilakukan,” ujarnya.
Tony menjelaskan bahwa surat yang beredar di kejaksaan daerah adalah
surat Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel). Yakni, surat himbauan
meminta para Kajari dan Kajati selaku pembina jaksa di daerah untuk
meneruskan kebijakan pimpinan agar tidak dilakukan mogok.
“Saluran resmi sudah ditempuh kejaksaan, dengan membuat kajian,
mengusulkan hal itu ke presiden dan menpan RB, menkeu, sudah
dilaksanakan institusi secara resmi, sejauh ini menpan sudah memberikan
‘lampu kuning’ walaupun tidak 100 persen seperti yang kita harapkan,
kita akan menunggu keputusan dari presiden,” ungkapnya.
Tony mengatakan bahwa pimpinan tidak ingin bila pelayanan publik yang
dijalankan kejaksaan menjadi terganggu. “Tetapi, jika kehendak jaksa di
daerah seperti itu, kan tidak bisa dicegah karena mereka menyuarakan
aspirasi mereka,” tuturnya.
“Sejauh ini, institusi hanya bisa menyarankan untuk tidak dilakukan.
Surat jamintel itu tidak memuat ancaman sanksi, hanya imbauan, karena
pelayanan publik yang kemungkinan terkena dampaknya adalah terkait
persidangan, sementara pelayanan lain seperti pengambilan barang bukti
tilang masih bisa tetap berjalan,” pungkasnya.